Monday, August 8, 2011

Hibernasi: Bagian 2

Ternyata hibernasi tidak selalu menyenangkan. Menyimpan segala sesuatunya tertata rapi dalam hati, rapat tanpa celah, tapi jadinya malah terengah-engah saat menjaga segalanya, dadaku jadi sering naik turun, nafasku tersengal padahal aku tak berlari kencang. Seringnya aku jadi tercekat, seperti terpojok. Inginnya menghela dengan bebas, tanpa belenggu. Jadi, jelaslah sudah, menjaga sebuah komitmen hibernasi tak mudah. Seolah terasa lebih nyaman dan sempurna, namun sungguh tidak sepenuhnya begitu. Ketika sesak itu menyerang tak ada yang bisa kulakukan selain mengais-ais udara. Padahal aku sudah tahu pasti, udara tak mungkin dapat kugapai. Tapi ketika udara itu kuhela sekuat-kuatnya, dan kulakukan berulang-ulang maka aku telah mengkhianati makna dan komitmen hibernasi. Sungguh, tak ada yang lebih hina daripada menjadi pengkhianat. Terlebih bagi diri sendiri.

Aku bisa saja memaksa diri keluar dari lingkaran hibernasi dan menjadi pengkhianat sejati, hanya saja aku belum tentu mampu untuk bangkit kembali ketika suatu saat aku jatuh seperti dulu. Mana mungkin mengemis pada hibernasi sementara aku telah jelas berpaling. Mencoreng makna yang kurancang sendiri. Dan saat aku bercermin, masih bisakah aku menatap wajahku sendiri?

Meski tidak selalu menyenangkan, hibernasi kini tak bisa ditawar. Tak ada kompromi untuk sebuah kenyamanan yang semu. Lebih baik sesak nafas saja. Biarkan segalanya begitu adanya hingga menit-menit akhir yang menentukan. Biarkan hibernasi melepaskan belenggunya sendiri, bebas sendiri tanpa harus daku berpaling.