Wednesday, December 7, 2011

A Thought for Eternal Memory

Pernah tepikir oleh saya—bahkan sering—untuk menghapus bagian dari memori yang tidak saya suka, memori yang tidak ingin saya ingat seumur hidup, memori yang menjengkelkan, memori yang membuat saya merasa berdosa, memori yang memalukan, yang membuat saya galau. Tidak sengaja kembali pada memori yang enggan untuk diingat adalah hal yang menyesakkan, membuat diri berada pada titik not in the mood all day. Itu bisa terjadi, indeed. Dan suatu ketika saya tiba-tiba terpikir, “Andai saja ada sesuatu yang bisa menghapus memori tertentu yang tidak lagi saya inginkan”. Jika ada, saya tentu harus membuat daftar panjang mengenai hal itu. Selama sekian tahun hidup, dan entah berapa tahun yang benar-benar saya ingat, banyak hal yang justru tidak ingin saya ingat sama sekali. I wanna make it fuckin’ go away. Dan ketika rasa itu muncul saya benci sekali diri saya. Sekejap saja muncul beragam pertanyaan, “Why am I doing that? What exactly on my head at that time? Why it did happen? How could that be?” dan seterusnya, dan seterusnya, hingga saya kemudian lelah menyalahkan diri saya sendiri atas suatu peristiwa yang kemudian menjadi memori yang sungguh tidak mengenakkan. Seolah, saat memori itu terhapus, saya dapat merasa jauh lebih baik, merasa menjadi orang yang lebih baik. Atau bahkan saya yakin hidup saya akan jauh lebih baik tanpa memori buruk itu. Kenapa? Jelas, karena dalam otak saya, saya hanya punya memori yang indah, lucu, menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, semarak, dan baik saja. Saya tentu tidak perlu merasa ada yang salah dengan diri saya, atau merasa not in the mood begitu saja karena tak harus mengingat setiap detail memori tolol, bodoh, unlike, akan diri saya, atas apa yang telah saya lakukan. Bukankah itu suatu kenikmatan? Tidak perlu merasa bersalah karena pernah menyakiti orang lain? Dan tidak perlu merasa berdosa karena telah melakukan sesuatu yang salah? Tidak perlu merasa marah, kecewa, dan sakit karena disakiti orang lain? Tapi pepatah bijak berkata, “bagaimana mungkin seseorang tahu rasanya kebahagiaan jika ia tak pernah merasa sakit”. Atau film Ally McBeal pernah bilang begini dalam salah satu seriesnya, “Jika dalam satu tahun tidak ada hal yang bisa kau tangisi atau membuatmu tertawa maka tahunmu itu sia-sia belaka”. Ya, kira-kira begitu intinya. Sepertinya perspektif saya berubah—about erasing memory, lebih-lebih ketika menonton film “Eternal Sunshine Spotless Mind” yang dibintangi Jim Carrey (Joel Barrish) dan Kate Winslet (Clementine). Semua yang saya inginkan, sebagaimana yang saya paparkan di atas terwujud dalam film ini. Seorang dokter dapat menghapus memori yang diinginkan. Mereka (Jim & Kate) yang berperan sebagai pasangan, mengalami saat-saat yang buruk dalam menjalani hubungannya sehingga Clementine pun mengambil langkah ekstrem: menghapus Joel dari memorinya. Begitu pula sebaliknya. Namun dalam perjalanan untuk menghapus memorinya, Joel, “tersadarkan”. Ketika menjelajah memorinya, berada dalam otaknya, ia justru menyadari bahwa ia sama sekali tak ingin menghapus apa pun yang pernah dimilikinya bersama Clementine. Saat yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan itu, ia tetap ingin menyimpannya sebagai kenangan. Ia masih ingin mengingatnya. Ia ingin membiarkan memorinya hidup di dalam dirinya, karena Clementine pernah menjadi bagian dari dirinya. Bagaimana mungkin seseorang dapat menghapus apa yang pernah ada di dalam dirinya? Melepas hal itu pergi tanpa jejak? Meskipun Clementine telah lebih dulu menghapus dirinya, tapi ia sungguh tak ingin semua itu terjadi, penghapusan memori. Oh. Nelangsa memang ketika tak sengaja mengenang—atau mungkin sengaja—hal–hal yang sebenarnya saya sesali. Saya tak ingin hal itu terjadi, tapi itu sudah terjadi, terpancang kuat dalam otak dan tersimpan rapi dalam memori, long term memory saya sehingga kenangan sudah, saat saya mengingatnya kembali. Tapi barangkali, sebelum keinginan saya terwujud untuk menghapus memori tertentu, seperti yang ada di dalam film itu, ada baiknya saya memikirkan kembali, sebab bukankah dari kenangan saya benar-benar merasa hidup, merasakan ada kehidupan yang pahit. Bukankah dengan kenangan saya bisa belajar tentang segala sesuatu? Walaupun kenangan yang tak mengenakkan, kenapa harus dibuang? Dipertahankan karena dia juga berarti kan? Dia bagian dari diri saya. Diri saya yang pernah terlupa, alpa, berdosa, bersalah, menyakiti, tersakiti, dan seterusnya. Sepertinya terkenang sesuatu bukanlah sesuatu yang buruk. Not at all. Isn’t it? Dan ya, memori itu luar biasa, membuat peristiwa tertentu menjadi abadi, walau hanya dalam pikiran saya saja. Setidaknya jika merasakan hal itu lagi, saya ingin memaafkan diri saya sendiri, berdamai dengan kenangan itu, menjadi reminder that I wasn’t pure. I’m not that great. Ya, siapa tahu, dengan begitu saya bisa jadi orang yang rendah hati. Nggak sok-sok-an, merasa paling hebat. Dan siapa tahu (lagi) saya bisa jadi orang yang lebih baik, bukan karena saya telah berhasil menghapus memori itu, tetapi karena saya bisa menghargai apa yang telah dilakukan oleh memori itu: membuat masa lalu menjadi kekal dalam pikiran saya. Karena film itu juga saya percaya kalau memori itu, kenangan itu, amat berharga. For eternal memory, eternal past. Cheers.

Monday, August 8, 2011

Hibernasi: Bagian 2

Ternyata hibernasi tidak selalu menyenangkan. Menyimpan segala sesuatunya tertata rapi dalam hati, rapat tanpa celah, tapi jadinya malah terengah-engah saat menjaga segalanya, dadaku jadi sering naik turun, nafasku tersengal padahal aku tak berlari kencang. Seringnya aku jadi tercekat, seperti terpojok. Inginnya menghela dengan bebas, tanpa belenggu. Jadi, jelaslah sudah, menjaga sebuah komitmen hibernasi tak mudah. Seolah terasa lebih nyaman dan sempurna, namun sungguh tidak sepenuhnya begitu. Ketika sesak itu menyerang tak ada yang bisa kulakukan selain mengais-ais udara. Padahal aku sudah tahu pasti, udara tak mungkin dapat kugapai. Tapi ketika udara itu kuhela sekuat-kuatnya, dan kulakukan berulang-ulang maka aku telah mengkhianati makna dan komitmen hibernasi. Sungguh, tak ada yang lebih hina daripada menjadi pengkhianat. Terlebih bagi diri sendiri.

Aku bisa saja memaksa diri keluar dari lingkaran hibernasi dan menjadi pengkhianat sejati, hanya saja aku belum tentu mampu untuk bangkit kembali ketika suatu saat aku jatuh seperti dulu. Mana mungkin mengemis pada hibernasi sementara aku telah jelas berpaling. Mencoreng makna yang kurancang sendiri. Dan saat aku bercermin, masih bisakah aku menatap wajahku sendiri?

Meski tidak selalu menyenangkan, hibernasi kini tak bisa ditawar. Tak ada kompromi untuk sebuah kenyamanan yang semu. Lebih baik sesak nafas saja. Biarkan segalanya begitu adanya hingga menit-menit akhir yang menentukan. Biarkan hibernasi melepaskan belenggunya sendiri, bebas sendiri tanpa harus daku berpaling.

Sunday, May 29, 2011

Alice in WonderlandAlice in Wonderland by Lewis Carroll

My rating: 4 of 5 stars


Di akhir kisah, rasa kecewa sedikit muncul ketika mengetahui bahwa segalanya hanya mimpi. Karena alangkah eloknya jika semua hal yang Alice alami di Negeri Ajaib itu adalah nyata adanya. Alice hanya tertidur di pangkuan sang kakak, namun mimpinya tampak begitu nyata. Petualangannya di Negeri Ajaib, bertemu dengan Kelinci Putih, Sang Duchess, Ulat Bulu, Kelinci-BulanMaret, Si Pembuat Topi, Tikus-Asrama, Si Kucing Chesire serta Sang Raja dan Ratu yang sangat tempramen dan teramat sering—atau malah senang—berujar: “Penggal kepalanya!” jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.



Selintas pikiran saya terbang dan mengingat berbagai adegan Alice yang tersesat di Negeri Ajaib dalam film animasi yang di-release, sekitar tahun lalu—kalau tidak salah—dengan judul yang sama. Saya membayangkan Johnny Depp yang memerankan Si Pembuat Topi duduk minum teh dengan Alice, lengkap dengan Kelinci-Bulan Maret dan Tikus Asrama, bertengkar tentang hal yang tampak remeh temeh; mulai dari rambut Alice, teka-teki, remah roti dan mentega, hingga cerita sumur sirup-gula si Tikus Asrama.



Oh, segalanya tampak aneh, namun lucu sekaligus membingungkan. Ini kan Negeri Ajaib. Kenapa harus berpikir bahwa segala peristiwa akan menjadi masuk akal, bahkan dengan berbagai percakapan yang terjadi di dalamnya? Banyak hal-hal yang sangat tidak mungkin atau malah jadi agak konyol. Tapi, apakah ada yang benar-benar konyol atau malah impossible di sebuah dunia yang disebut “Wonderland” ini? Saya pikir tidak begitu.



Meski hanya mimpi, tapi mimpi Alice adalah mimpi yang indah sekaligus aneh. Indah karena dia berpetualang ke suatu negeri entah dimana yang selalu memberikan kejutan lucu dan menyenangkan. Aneh karena Alice bertemu dengan berbagai makhluk yang tak terbayangkan akan ada di dunia nyata, dengan percakapan yang serba membingungkan.



Saya suka kisah Alice. Ia adalah anak perempuan yang punya rasa ingin tahu yang besar, polos dan lugu, tapi sangat suka menyela pembicaraan, ceplas-ceplos, namun juga jujur. Saya suka dengan keberanian yang dimilikinya untuk berpetualang. Rasa penasaran mendorongnya untuk meneruskan petualangannya, tak peduli banyak hal aneh atau unik, tak peduli apakah tubuhnya akan membesar atau malah mengecil. Saya jadi percaya, jika petualangannya bukan mimpi sekalipun, pasti ia akan tetap melakukan hal yang sama: mengejar si Kelinci Putih dan masuk ke lubangnya.



Barangkali Negeri Ajaib malah tak ada bedanya dengan dunia nyata Alice. Kenyataan bisa jadi sangat membosankan, tapi dalam hidup selalu ada kejutan, keanehan, dan kebingungan. Hanya saja bisa menyenangkan, bisa tidak. Hehehe ;p.



Saya suka penutup cerita ini:



“Terakhir, dia membayangkan bagaimana adiknya nanti, lambat laun, akan tumbuh menjadi wanita dewasa; dan melalui masa-masa dewasa itu, bagaimana ia akan menjaga sifatnya di masa kanak-kanak yang sederhana dan penuh kasih; bagaimana nanti ia akan mengumpulkan anak-anaknya serta membuat mata mereka melebar dan penasaran dengan dongeng-dongeng ajaib, bahkan mungkin dengan mimpinya ke Negeri Ajaib yang sudah bertahun-tahun lewat; dan apa yang akan dia rasakan jika segala kesedihan menimpa anak-anaknya sekaligus menemukan kebahagiaan pada hal-hal yang sederhana, seraya teringat pada masa kecilnya sendiri dan musim panas yang menyenangkan.” (h. 175).





View all my reviews

Wednesday, May 18, 2011

L O S T

Tak terasakah kau bahwa kita hidup dalam sebuah dunia yang asing. Coba lihat sekitarmu. Siapa rupanya yang benar-benar kau kenal? Kau bisa saja merasa mengenal mereka, tapi tidak adanya. Kau tahu nama mereka, kau ingat wajah mereka, senyum, gelak tawa, tangis sedih, dan segala sifat-sifat temanmu atau seseorang yang kau nyatakan sebagai sahabat. Kau hapal mereka luar dalam. Kau tahu bagaimana tabiatnya. Tapi, benarkah itu semua? Jika ya, kenapa segalanya berubah? Mendadak kau merasa segalanya berubah. Teman-temanmu, lingkunganmu, duniamu, bahkan dirimu sendiri. Kemudian tanpa sadar kau menjadi terasing dalam kehidupanmu. Merasa sepi di balik hingar bingar orang-orang yang dulu kau sebut teman.

Bahkan dirimu kini bukan dirimu lagi. Dirimu telah berubah menjadi sesosok yang sama sekali tak kau kenali. Jika dahulu engkau adalah seorang yang penuh semangat maka saat ini dirimu yang kau tatap di depan cermin adalah seorang yang telah lelah mentalnya. Melihat lebih jauh ke belakang, kau dahulu adalah seorang yang ceria gembira, namun kini semuanya yang tersisa hanyalah kemurungan dan kegalauan. Kini kau terjebak dalam labirin kebingungan tanpa tahu jalan keluar. Tak ada yang bisa kau andalkan selain dirimu sendiri. Maka teruslah tapaki lorong-lorong itu meski hanya gelap yang ada. Ternyata, kehilangan diri sendiri di dalam diri adalah sesuatu hal yang menyakitkan. Karena bukan tak mungkin kau malah membenci dirimu sendiri dan menyalahkannya atas segala kekalahan yang kau perbuat. Semuanya terasa begitu cepat dan tiba-tiba, padahal ternyata perubahan itu telah berproses menggerogoti dari dalam dirimu sendiri. Masihkah kau merasa mengenal teman-temanmu? Atau bahkan dirimu?

Aku pikir dunia sekarang telah menjadi benar-benar asing. Penuh dengan seliweran orang-orang asing. Dan ini aku, hidup dalam dunia yang asing, berinteraksi dengan mereka yang tak kukenal. Oh, apakah aku kan terus hidup dalam keterasingan ini? Atau sebenarnya aku telah mati tanpa aku sadari?

Tuesday, April 19, 2011

the colors

Selasa, 19 April 2011 09.21 p.m.

Bulan oranye menggantung di langit malam yang ungu
Ku tahu kau tak ada
Biar sendu menemaniku
Dengan suara yang bercakap-cakap
Dengan petik senar gitar yang bersenandung sumbang

Tuesday, April 5, 2011

Sebuah Percakapan yang Biru

“Oi, kamu tahu nggak?”
“Apa?”
“Warna biru itu menyiratkan kesedihan.”
“Oya?”
“Banyak lagu yang akhir-akhir ini aku dengar ada kata itu.”
“Biru?”
Blue lebih tepatnya. Hmm, ya, ‘Fallin’-nya Alicia Keys, ‘You Belong to Me’ versi Vonda Shepard, ‘Someone You Use’ dengan penyanyi yang sama, dan ya.., banyak lagi mungkin yang aku nggak tau. Intinya, feel blue. Ya, something like that.
“Kalau memang begitu, kenapa Tuhan menciptakan dunia dengan dominasi warna biru? Langit, laut... Memangnya Tuhan pengen kesedihan di dunia?”
“Makna itu manusia yang buat kali. Seperti aku mengartikan kalau biru itu artinya sedih. Biru itu ada maknanya karena aku yang memberinya makna. Buat orang lain bisa saja kan artinya jadi beda. Terus, kalau aku tadi bilang biru itu artinya ketenangan, apa kamu juga menyimpulkan kalau Tuhan itu pengen ketenangan di dunia ini? Jangan hakimi Tuhan begitu saja. Apa-apa menyalahkan Tuhan, bilang Tuhan nggak adil.”
“Ya, kamu jadi marah deh. Sori.”
“Aku nggak marah. Aku cuma menegaskan saja, dan kenapa harus minta maaf sama aku? Minta maaf sama Tuhan dong, kan kamu yang menyalahkan Tuhan.”

Mereka terdiam lama.

“Hmm, novelnya Fira Basuki juga ada yang judulnya ‘Biru’.”
“Sori, aku nggak baca Fira Basuki.”
“Ya elah. Kamu nggak perlu baca Fira Basuki buat tau judul novelnya.”
“Jadi, kamu nggak baca novelnya?”
“Aku baca.”
“Jadi?”
“Ya, ceritanya nurut aku segala sesuatu yang sedih. Selingkuh, cerai, pengkhianatan, kebohongan, kehilangan. Ya, something like that. Something blue. Aku pikir begitu.”

Hening.

“Kamu nyadar nggak, beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai. Merasakan kalau angin bisa buang sedih itu pergi, atau pasir kemudian membenamkannya dalam-dalam, lalu membiarkannya hanyut ditelan laut.”
“Jadi, sekarang kamu lagi sedih?”
“Apa aku tampak sedih?”
“Ya, aku nggak tahu. Buktinya, kita sekarang di pantai.”
“Aku kan bilang tadi orang. Beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai.”
“Memangnya kamu bukan orang?”
“Aku cuma mitos.”
“Heh?”
“Mitos buat kamu.”

Angin berdesir pelan.

Saturday, April 2, 2011

Meracau

Dunia kini tak lagi sama. Keadaan sudah jauh berubah dari apa yang kumau. Karena sekarang segala pelarian telah menjadi sia-sia belaka. Kemana pun pergi hanya sama yang kutemui. Meski jalan berputar pada akhirnya segala titik kehidupan akan kembali pada hal yang sama: kehampaan. Sebelum mencapai itu, akan ada kegundahan yang mengiringi, kegalauan menerpa tanpa ampun, kelumpuhan diri, sampai pada akhirnya kehampaan yang tersisa. Hampa sehampa-hampanya. Namun tetaplah keputusasaan bukan menjadi keinginan. Tak peduli hampanya diri ini, tak akan kubiarkan jalan ini menuju pada keputusasaan itu.

Semuanya sudah kurasakan sekarang. Inilah klimaks dimana aku merasa segala hal, seluruhnya bukanlah tempat untuk mencari jawaban atas segala kehampaan ini. Aku tak bisa lagi meyakini akan ada jawaban di sana. Percuma lagi yang kutemukan jika satu pertanyaan kuajukan hanya akan kembali pada pertanyaan lain. Kalau memang akhirnya akan berada dalam kesendirian, ya sudah, sendiri saja. Aku tak ingin orang mengasihani diriku sendiri yang sedang bergerumul dalam kehampaan yang tiada terkira. Biarkan saja, hati ini meresapi penuh segala kesendirian itu. Toh, keramaian bukan lagi tempat yang menyenangkan. Atau, memang tidak pernah jadi hal yang menyenangkan?

Dimana lagi pelarian itu. Segalanya lagi percuma. Dan kini, keresahan menanti di depan muka. Bergulat aku dengan segala ketidaknyamanan itu. Mencari-cari, lagi mencari alternatif untuk melampiaskan emosi. Jika tak berhasil juga, inilah jurus pamungkasku: hibernasi. Lebih baik rasanya bergulat dengan hibernasi daripada membiarkan diri larut dalam kehampaan. Cukup sudah, tak perlu lagi. Biarkan aku yang hadapi sendiri. Ah, kalaupun nanti aku ingin menangis, aku akan menangis dalam kesendirian. Aku tak ingin ada yang menemani. Cukup aku saja. Dan Tuhan juga. Hibernasi sudah menjadi tumpuan. Saat ini, aku tenggelam dalam tangisanku sendiri. Oh, duniaku seorang.