
Ini mereka: Ally McBeal, Renee, Billy, Georgia, John Cage, Richard Fish, Elaine, Nelle, dan—Ling. Ada dua kata yang bisa kukatakan untuk mereka dan film ini: Odd and expressive! Bayangkan saja, ini aneh ketika Ally yang ketika itu berumur 8 tahun sudah mengetahui belahan hatinya, hanya dengan “mengendus” pantat teman semasa kecilnya—Billy. Hmm, bukankah itu cara seekor—maaf—anjing untuk menarik perhatian lawan jenisnya? Atau katakanlah sekadar berkenalan saja? Tapi toh, itu terjadi dalam kehidupan Ally. Tunggu, aku pun tak bisa memvonis bahwa itu sesuatu yang aneh—atau sangat aneh.
Kemudian aku melihat sesuatu yang berbeda, atau lebih aneh lagi. John Cage, merasa penting untuk memastikan bahwa toilet favoritnya haruslah benar-benar bersih. Maka sebelum ia menggunakannya, cukup tekan “flusher” dan brushhhh... toilet itu secara otomatis menyiram sendiri. Ketika orang lain atau rekan kerjanya memperhatikannya dengan pandangan setengah ingin tahu bercampur setengah terkejut, ia cukup katakan: “I like fresh bowl”. Dan ia berlalu. Aneh? Jangan dulu.
Dan dalam episode lain aku menemukan, Ally sering melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Entah itu unicorn, balita laki-laki yang senang menari, atau imajinasi liar lainnya yang terasa begitu nyata. Lalu, bagaimana John Cage dan Richard Fish merasa harus mendengar “bel” percaya diri berdenting dalam kepalanya sebelum melakukan sesuatu. Atau kebiasaan John yang selalu melepas sepatunya dan berputar mengelilingi sebuah pilar tembok untuk persiapan closing di persidangan. Dan bahkan Ally, yang dapat menggoyangkan bahunya, menari sebenar-benarnya menari, hanya karena ia mendengarkan musik favoritnya bergaung di kepala... “Yeah, the music is playing on my head”... And Elaine! How could I forget? Dengan karakternya yang suka gosip dan merasa selalu dibutuhkan, ia punya sesuatu yang lebih “lain”. Ia lebih sibuk memperkenalkan “face bra” atau inovasi produk lainnya di kantor. Aneh kan? Belum tentu.
Pada satu titik, aku memikirkan bahwa setiap orang memiliki sisi yang berbeda, sisi aneh dalam dirinya. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Bahkan sebaliknya, jangan-jangan kita harusnya merasa aneh karena tidak memiliki keanehan sama sekali. Dalam hal ini, aku memandang keanehan personal sebagai sesuatu yang manusiawi. Batasan mengenai apa yang membuat keanehan tersebut masih dalam taraf “normal”, kita punya pandangan masing-masing . Bisa jadi, batasan itu tak selalu sama. Mungkin saja, batasan itu menjadi kabur atau tidak jelas karena kita tak punya aturan baku untuk itu. Tapi bagiku pribadi, selama keanehan itu tak membuat orang di sekitar kita terusik atau terganggu hidupnya, lalu apa yang salah?
Keanehan-keanehan pada karakter dalam film ini membentuk suatu keunikan yang berbeda. Mereka tetaplah para pengacara yang brilian, cerdas, dan memukau. Walaupun mereka punya sifat-sifat keanehan , justru itu bukanlah masalah. Karena dengan itu, mereka berani untuk menunjukkan bahwa beginilah aku! Dalam interaksinya, mereka menerima keanehan masing-masing, memperlihatkan diri mereka secara natural dan ekspresif. Mereka memiliki keanehan tanpa harus takut untuk dicap aneh. Dan penerimaan seperti itu merupakan penghargaan bahwa mereka saling mengerti dan menghargai satu sama lain. Bukankah begitu lebih enak?
Maka ingin kubagi padamu, aku tak perlu takut untuk dikatakan aneh ataupun berbeda, jika aku hingga saat ini masih berhibernasi—meski dalam level yang berbeda—sambil berbicara dengan diriku sendiri hanya untuk dapat membuatku kuat, tegar, dan percaya diri pada titik tertentu. Kita mempunyai keunikan yang jelas berbeda dari yang lain. Begitu pula sebaliknya. Daripada aku memusingkannya maka kuputuskan untuk menikmatinya. Bisa jadi, keunikan atau keanehan ini memang Tuhan berikan secara khusus pada setiap makhluk-Nya. Ini anugerah. Jadi, tersenyum saja yang manis.