Wednesday, December 29, 2010

dark black

Orang yang paling menyedihkan adalah orang yang merasakan kepedihan tanpa mampu membagi kepedihannya pada siapapun.

Orang yang paling menyedihkan adalah orang yang merasakan kemarahan tanpa mampu mengungkapkan kemarahan itu dengan cara yang sopan pada siapapun.

Orang yang paling menyedihkan adalah orang yang merasakan sesuatu apa pun itu, tapi sayangnya ia tak memiliki orang yang tepat untuk membaginya, karena hati yang tak terkoneksi, pikiran yang tak menyatu, atau barangkali waktu yang tidak tepat. Ah, anjing. Apa manusia harus selalu butuh waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu? Apakah memang harus selalu butuh waktu yang tepat untuk membagi sesuatu? Bagaimana jika sesuatu itu tak bisa menunggu?

Ah, anjing. Anjing. Anjing.

Nonsense.

Hibernasi, kembalilah padaku. Peluklah jiwaku. Aku tak ingin manusia-manusia itu. Aku cuma ingin kau. Cukuplah bagiku kita dan Tuhan saja yang tahu.

Harapan

Adakah benar harapan itu harusnya dijaga, dipelihara, dipupuk dan terus dipercaya hingga benar pupus segalanya? Hingga segalanya habis tak bersisa? Aku menyimpan kecurigaan besar bahwa harapan itu adalah kehampaan, penipu ulung di hati manusia yang sepi, setia menemani pada relung jiwa yang kosong. Harapan itu bukan seperti si cantik yang buruk rupa atau seekor kodok padahal pangeran tampan. Justru sebaliknya, ia seolah terasa manis dan membahagiakan, malahan ia hanya tawarkan suatu ruang tak bernyawa. Tapi, bagaimana mungkin banyak dari mereka yang bisa hidup di ruang hampa itu?

Coba saja pikirkan, berapa banyak orang yang masih berharap pada sesuatu atau orang lain yang sudah tak bisa lagi diharapkan? Berapa banyak kekasih yang berharap pasangannya kembali meski nyatanya sudah tak mungkin? Berapa banyak orang yang hidup dengan asa tapi malah mati sia-sia di dalamnya? Harapan menjadi bermuka dua, licik. Ia seperti menawarkan jawaban dan pembenaran atas segala yang tak nyata dan tak mungkin. Katanya, “masih ada waktu” atau “tak ada yang tak mungkin” atau bahkan, “segalanya bisa saja berubah”. Hei, okey, fine. Tapi ayo kita balik lagi. Barangkali orang bisa mengiyakannya, tapi sejauh mana harapan itu bisa menjadi ketenangan yang diidam-idamkan hati dan perasaan? Sejauh mana harapan itu dapat menjawab pertanyaan yang datang dari orang lain, bahkan diri sendiri? sejauh apa harapan itu dapat menjelma menjadi suatu kekuatan terbesar untuk bertahan?

Adakah benar adanya menggantungkan hidup kita pada harapan?

Pada titik ini, aku pikir, harapan menjadi perpesktif yang menyajikan rasa pesimis. Mereka merasa hidup dengan harapan. Bisa jadi mereka hidup, tapi jiwa mereka telah mati. Mereka membunuh jiwa mereka sendiri, mengantarkan hati pada jurang harapan yang kelam. Sungguh, aku berprasangka pada harapan itu. Jika begini kasusnya maka sudahlah, relakanlah, dan berhentilah berharap. Maafkan, harapan itu semu.

Namun, justru persoalan yang jadinya membingungkan adalah terkadang ketika harapan dipercaya sebagai suatu keajaiban maka ia serta merta menjadi suatu energi tak berbatas bagi mereka yang menjaganya. Mereka akan terus hidup dari energi asa yang mereka biarkan untuk mengalir terus mengisi apa yang ku kira kehampaan. Mereka percaya bahwa harapan itu benar, ia tak semu, tak hanya idaman hati. Karena ia begitu nyata. Senyata ketika kau percaya, merasakan harapan itu memenuhi hati dan jiwamu. Mengisi dada dan otakmu. Bahwa harapan memang harus diperjuangkan. Seperti laiknya harapan orang tua pada buah hatinya.

Jika begini jadinya, apakah harapan itu tak punya makna absolut? Mengapa masih ada tawar menawar? Ini bukan jual beli. Harapan bukan dagangan, I guess.

Lalu, berada di sisi manakah kita? Oh, entahlah. Biarkan saja hati memilih mana yang kau percaya.

Thursday, December 2, 2010

McBealism

Ini mereka: Ally McBeal, Renee, Billy, Georgia, John Cage, Richard Fish, Elaine, Nelle, dan—Ling. Ada dua kata yang bisa kukatakan untuk mereka dan film ini: Odd and expressive! Bayangkan saja, ini aneh ketika Ally yang ketika itu berumur 8 tahun sudah mengetahui belahan hatinya, hanya dengan “mengendus” pantat teman semasa kecilnya—Billy. Hmm, bukankah itu cara seekor—maaf—anjing untuk menarik perhatian lawan jenisnya? Atau katakanlah sekadar berkenalan saja? Tapi toh, itu terjadi dalam kehidupan Ally. Tunggu, aku pun tak bisa memvonis bahwa itu sesuatu yang aneh—atau sangat aneh.

Kemudian aku melihat sesuatu yang berbeda, atau lebih aneh lagi. John Cage, merasa penting untuk memastikan bahwa toilet favoritnya haruslah benar-benar bersih. Maka sebelum ia menggunakannya, cukup tekan “flusher” dan brushhhh... toilet itu secara otomatis menyiram sendiri. Ketika orang lain atau rekan kerjanya memperhatikannya dengan pandangan setengah ingin tahu bercampur setengah terkejut, ia cukup katakan: “I like fresh bowl”. Dan ia berlalu. Aneh? Jangan dulu.

Dan dalam episode lain aku menemukan, Ally sering melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Entah itu unicorn, balita laki-laki yang senang menari, atau imajinasi liar lainnya yang terasa begitu nyata. Lalu, bagaimana John Cage dan Richard Fish merasa harus mendengar “bel” percaya diri berdenting dalam kepalanya sebelum melakukan sesuatu. Atau kebiasaan John yang selalu melepas sepatunya dan berputar mengelilingi sebuah pilar tembok untuk persiapan closing di persidangan. Dan bahkan Ally, yang dapat menggoyangkan bahunya, menari sebenar-benarnya menari, hanya karena ia mendengarkan musik favoritnya bergaung di kepala... “Yeah, the music is playing on my head”... And Elaine! How could I forget? Dengan karakternya yang suka gosip dan merasa selalu dibutuhkan, ia punya sesuatu yang lebih “lain”. Ia lebih sibuk memperkenalkan “face bra” atau inovasi produk lainnya di kantor. Aneh kan? Belum tentu.

Pada satu titik, aku memikirkan bahwa setiap orang memiliki sisi yang berbeda, sisi aneh dalam dirinya. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Bahkan sebaliknya, jangan-jangan kita harusnya merasa aneh karena tidak memiliki keanehan sama sekali. Dalam hal ini, aku memandang keanehan personal sebagai sesuatu yang manusiawi. Batasan mengenai apa yang membuat keanehan tersebut masih dalam taraf “normal”, kita punya pandangan masing-masing . Bisa jadi, batasan itu tak selalu sama. Mungkin saja, batasan itu menjadi kabur atau tidak jelas karena kita tak punya aturan baku untuk itu. Tapi bagiku pribadi, selama keanehan itu tak membuat orang di sekitar kita terusik atau terganggu hidupnya, lalu apa yang salah?

Keanehan-keanehan pada karakter dalam film ini membentuk suatu keunikan yang berbeda. Mereka tetaplah para pengacara yang brilian, cerdas, dan memukau. Walaupun mereka punya sifat-sifat keanehan , justru itu bukanlah masalah. Karena dengan itu, mereka berani untuk menunjukkan bahwa beginilah aku! Dalam interaksinya, mereka menerima keanehan masing-masing, memperlihatkan diri mereka secara natural dan ekspresif. Mereka memiliki keanehan tanpa harus takut untuk dicap aneh. Dan penerimaan seperti itu merupakan penghargaan bahwa mereka saling mengerti dan menghargai satu sama lain. Bukankah begitu lebih enak?

Maka ingin kubagi padamu, aku tak perlu takut untuk dikatakan aneh ataupun berbeda, jika aku hingga saat ini masih berhibernasi—meski dalam level yang berbeda—sambil berbicara dengan diriku sendiri hanya untuk dapat membuatku kuat, tegar, dan percaya diri pada titik tertentu. Kita mempunyai keunikan yang jelas berbeda dari yang lain. Begitu pula sebaliknya. Daripada aku memusingkannya maka kuputuskan untuk menikmatinya. Bisa jadi, keunikan atau keanehan ini memang Tuhan berikan secara khusus pada setiap makhluk-Nya. Ini anugerah. Jadi, tersenyum saja yang manis.