Adakah benar harapan itu harusnya dijaga, dipelihara, dipupuk dan terus dipercaya hingga benar pupus segalanya? Hingga segalanya habis tak bersisa? Aku menyimpan kecurigaan besar bahwa harapan itu adalah kehampaan, penipu ulung di hati manusia yang sepi, setia menemani pada relung jiwa yang kosong. Harapan itu bukan seperti si cantik yang buruk rupa atau seekor kodok padahal pangeran tampan. Justru sebaliknya, ia seolah terasa manis dan membahagiakan, malahan ia hanya tawarkan suatu ruang tak bernyawa. Tapi, bagaimana mungkin banyak dari mereka yang bisa hidup di ruang hampa itu?
Coba saja pikirkan, berapa banyak orang yang masih berharap pada sesuatu atau orang lain yang sudah tak bisa lagi diharapkan? Berapa banyak kekasih yang berharap pasangannya kembali meski nyatanya sudah tak mungkin? Berapa banyak orang yang hidup dengan asa tapi malah mati sia-sia di dalamnya? Harapan menjadi bermuka dua, licik. Ia seperti menawarkan jawaban dan pembenaran atas segala yang tak nyata dan tak mungkin. Katanya, “masih ada waktu” atau “tak ada yang tak mungkin” atau bahkan, “segalanya bisa saja berubah”. Hei, okey, fine. Tapi ayo kita balik lagi. Barangkali orang bisa mengiyakannya, tapi sejauh mana harapan itu bisa menjadi ketenangan yang diidam-idamkan hati dan perasaan? Sejauh mana harapan itu dapat menjawab pertanyaan yang datang dari orang lain, bahkan diri sendiri? sejauh apa harapan itu dapat menjelma menjadi suatu kekuatan terbesar untuk bertahan?
Adakah benar adanya menggantungkan hidup kita pada harapan?
Pada titik ini, aku pikir, harapan menjadi perpesktif yang menyajikan rasa pesimis. Mereka merasa hidup dengan harapan. Bisa jadi mereka hidup, tapi jiwa mereka telah mati. Mereka membunuh jiwa mereka sendiri, mengantarkan hati pada jurang harapan yang kelam. Sungguh, aku berprasangka pada harapan itu. Jika begini kasusnya maka sudahlah, relakanlah, dan berhentilah berharap. Maafkan, harapan itu semu.
Namun, justru persoalan yang jadinya membingungkan adalah terkadang ketika harapan dipercaya sebagai suatu keajaiban maka ia serta merta menjadi suatu energi tak berbatas bagi mereka yang menjaganya. Mereka akan terus hidup dari energi asa yang mereka biarkan untuk mengalir terus mengisi apa yang ku kira kehampaan. Mereka percaya bahwa harapan itu benar, ia tak semu, tak hanya idaman hati. Karena ia begitu nyata. Senyata ketika kau percaya, merasakan harapan itu memenuhi hati dan jiwamu. Mengisi dada dan otakmu. Bahwa harapan memang harus diperjuangkan. Seperti laiknya harapan orang tua pada buah hatinya.
Jika begini jadinya, apakah harapan itu tak punya makna absolut? Mengapa masih ada tawar menawar? Ini bukan jual beli. Harapan bukan dagangan, I guess.
Lalu, berada di sisi manakah kita? Oh, entahlah. Biarkan saja hati memilih mana yang kau percaya.
No comments:
Post a Comment