Tuesday, April 19, 2011

the colors

Selasa, 19 April 2011 09.21 p.m.

Bulan oranye menggantung di langit malam yang ungu
Ku tahu kau tak ada
Biar sendu menemaniku
Dengan suara yang bercakap-cakap
Dengan petik senar gitar yang bersenandung sumbang

Tuesday, April 5, 2011

Sebuah Percakapan yang Biru

“Oi, kamu tahu nggak?”
“Apa?”
“Warna biru itu menyiratkan kesedihan.”
“Oya?”
“Banyak lagu yang akhir-akhir ini aku dengar ada kata itu.”
“Biru?”
Blue lebih tepatnya. Hmm, ya, ‘Fallin’-nya Alicia Keys, ‘You Belong to Me’ versi Vonda Shepard, ‘Someone You Use’ dengan penyanyi yang sama, dan ya.., banyak lagi mungkin yang aku nggak tau. Intinya, feel blue. Ya, something like that.
“Kalau memang begitu, kenapa Tuhan menciptakan dunia dengan dominasi warna biru? Langit, laut... Memangnya Tuhan pengen kesedihan di dunia?”
“Makna itu manusia yang buat kali. Seperti aku mengartikan kalau biru itu artinya sedih. Biru itu ada maknanya karena aku yang memberinya makna. Buat orang lain bisa saja kan artinya jadi beda. Terus, kalau aku tadi bilang biru itu artinya ketenangan, apa kamu juga menyimpulkan kalau Tuhan itu pengen ketenangan di dunia ini? Jangan hakimi Tuhan begitu saja. Apa-apa menyalahkan Tuhan, bilang Tuhan nggak adil.”
“Ya, kamu jadi marah deh. Sori.”
“Aku nggak marah. Aku cuma menegaskan saja, dan kenapa harus minta maaf sama aku? Minta maaf sama Tuhan dong, kan kamu yang menyalahkan Tuhan.”

Mereka terdiam lama.

“Hmm, novelnya Fira Basuki juga ada yang judulnya ‘Biru’.”
“Sori, aku nggak baca Fira Basuki.”
“Ya elah. Kamu nggak perlu baca Fira Basuki buat tau judul novelnya.”
“Jadi, kamu nggak baca novelnya?”
“Aku baca.”
“Jadi?”
“Ya, ceritanya nurut aku segala sesuatu yang sedih. Selingkuh, cerai, pengkhianatan, kebohongan, kehilangan. Ya, something like that. Something blue. Aku pikir begitu.”

Hening.

“Kamu nyadar nggak, beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai. Merasakan kalau angin bisa buang sedih itu pergi, atau pasir kemudian membenamkannya dalam-dalam, lalu membiarkannya hanyut ditelan laut.”
“Jadi, sekarang kamu lagi sedih?”
“Apa aku tampak sedih?”
“Ya, aku nggak tahu. Buktinya, kita sekarang di pantai.”
“Aku kan bilang tadi orang. Beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai.”
“Memangnya kamu bukan orang?”
“Aku cuma mitos.”
“Heh?”
“Mitos buat kamu.”

Angin berdesir pelan.

Saturday, April 2, 2011

Meracau

Dunia kini tak lagi sama. Keadaan sudah jauh berubah dari apa yang kumau. Karena sekarang segala pelarian telah menjadi sia-sia belaka. Kemana pun pergi hanya sama yang kutemui. Meski jalan berputar pada akhirnya segala titik kehidupan akan kembali pada hal yang sama: kehampaan. Sebelum mencapai itu, akan ada kegundahan yang mengiringi, kegalauan menerpa tanpa ampun, kelumpuhan diri, sampai pada akhirnya kehampaan yang tersisa. Hampa sehampa-hampanya. Namun tetaplah keputusasaan bukan menjadi keinginan. Tak peduli hampanya diri ini, tak akan kubiarkan jalan ini menuju pada keputusasaan itu.

Semuanya sudah kurasakan sekarang. Inilah klimaks dimana aku merasa segala hal, seluruhnya bukanlah tempat untuk mencari jawaban atas segala kehampaan ini. Aku tak bisa lagi meyakini akan ada jawaban di sana. Percuma lagi yang kutemukan jika satu pertanyaan kuajukan hanya akan kembali pada pertanyaan lain. Kalau memang akhirnya akan berada dalam kesendirian, ya sudah, sendiri saja. Aku tak ingin orang mengasihani diriku sendiri yang sedang bergerumul dalam kehampaan yang tiada terkira. Biarkan saja, hati ini meresapi penuh segala kesendirian itu. Toh, keramaian bukan lagi tempat yang menyenangkan. Atau, memang tidak pernah jadi hal yang menyenangkan?

Dimana lagi pelarian itu. Segalanya lagi percuma. Dan kini, keresahan menanti di depan muka. Bergulat aku dengan segala ketidaknyamanan itu. Mencari-cari, lagi mencari alternatif untuk melampiaskan emosi. Jika tak berhasil juga, inilah jurus pamungkasku: hibernasi. Lebih baik rasanya bergulat dengan hibernasi daripada membiarkan diri larut dalam kehampaan. Cukup sudah, tak perlu lagi. Biarkan aku yang hadapi sendiri. Ah, kalaupun nanti aku ingin menangis, aku akan menangis dalam kesendirian. Aku tak ingin ada yang menemani. Cukup aku saja. Dan Tuhan juga. Hibernasi sudah menjadi tumpuan. Saat ini, aku tenggelam dalam tangisanku sendiri. Oh, duniaku seorang.