Saturday, July 10, 2010

Segitiga

09.45 am

Hosh. Hosh. Hosh. Eza mengayuh sepedanya seperti orang kesetanan. Sial, umpatnya dalam hati.Telat. Telat. Telat. Kenapa harus ngedadak gini? Tak peduli, ia harus segera tiba di sana. Kecemasan membuat jantungnya memacu cepat, mengalirkan ketakutan ke seluruh tubuh. Otaknya pun mutlak memikirkan satu nama. Aku percaya masih ada kesempatan, kumohon Tuhan, beri aku sedikit waktu.

Eza terus melawan deru angin yang menantangnya. Keringat yang mengucur dari pelipisnya kini pun melakukan hal yang sama: berpacu dengan gerak kakinya, namun tertahan oleh alis naganya yang meliuk. Sesekali rem sepedanya mendesis pelan ketika berbelok di ujung jalan. Sambil melihat jam yang melingkar di tangan, hatinya berharap ia masih bisa tiba tepat waktu.

Sementara lima ratus meter dari tempat Eza bertarung dengan waktu, seorang perempuan sedang duduk di jejeran bangku tunggu stasiun. Menggerakkan kedua telapak kaki naik turun dengan ritme yang cepat. Ia mencondongkan tubuh ke depan, sementara kedua lengannya bertumpu pada paha. Tak jarang ia mengusap-usap telapak tangan ke celana jinsnya, sambil menyisir pandangan ke segala penjuru. Menunggu tak sabar.

10.13 am

Eza menyandarkan sepedanya di sebuah tiang di lahan parkir stasiun. Setengah berlari, ia melihat seseorang yang dikenalnya. Menuju ke arahnya dengan lesu. Belum sempat ia mengatur nafas, orang itu sudah berbicara.

“Percuma. Barusan aku dari dalem.”

Hosh. Hosh. Hosh. Hosh. Hatiku menciut.

“Yakin kamu Ka?” ucapku setengah tak percaya.

Raka hanya mengangguk pelan. Matanya menyiratkan kejujuran.

Dia sudah pergi.

Eza melepas kacamatanya. Menyapu keringat yang menumpuk di bawah mata dan pelipisnya. Raka hanya bisa menggigit bibir dan menghela nafas. Berdua mereka berpikir dalam kebingungan. Sunyi begitu lama hingga akhirnya Raka bersuara.

“Sebaiknya kita duduk.” Eza seperti sudah tak sanggup untuk berjalan. Bukan karena kelelahan bersepeda. Tapi, pernyataan yang baru saja didengarnya dari Raka seakan menyedot habis semua energinya. Harapannya. Dengan langkah yang dipaksakan, ia hanya mengekor Raka dari belakang. Stasiun cukup ramai hari itu. Beruntung Raka menemukan bangku untuk mereka berdua, tak jauh dari tempat mereka bertemu.

Raka menyodorkan air minum yang dibelinya kepada Eza dan duduk di sebelahnya. Hening. Tanpa menoleh, Eza meraih botol air minum sekenanya dan tak mampu berucap. Pikiran mereka masing-masing melayang. Eza mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.

Tanpa alarm, Eza tersentak bangun pagi ini. Telepon genggamnya menunjukkan pukul 08.40. Terlalu pagi untuk beranjak dari kasur, tapi ia merasa ingin mandi. Dengan mata setengah terpejam, ia menyibakkan gordyn dan segera menuju kamar mandi. Sambil mematut diri di depan cermin, tiba-tiba ia terpikir sesuatu. Sepertinya bersepeda dengan Dina hari ini ide yang bagus. Segera, Eza mengeluarkan mountain bike-nya dari ruang dapur rumah kontrakannya. Dengan santai, ia mulai mengayuh sepeda itu.

09.27 am

Beberapa kali mengetuk pintu kamar Dina, bukan Dina yang ia dapati.

“Cari siapa Mas?” tanya seorang perempuan yang keluar dari kamar sebelah.

“Hmm, Dina ada?”

“Ooh, Mbak Dina udah pergi Mas. Baru aja.”

“Kemana ya?”

“Tadi sih pamitnya mau ke stasiun, berangkat jam 10 katanya,”

Berangkat? Tanyanya dalam hati.

“Dia pergi sendiri aja? Berangkat kemana ya?”

“Kayaknya sih Mas, tadi dijemput taksi. Mbak Dina bawa backpack gede gitu. Wah, kurang tau juga mau kemana,” jelasnya

“Ooh, makasih ya.”

Kening Eza berkerut. Ia mencoba menelepon Dina, tak aktif. Kini, kedua alisnya bertemu. Ia pun segera menghubungi Raka.

“Ka, kamu bisa ke stasiun sekarang? Ya, ke stasiun. Dina lagi di jalan ke sana. Apa? Ya aku nggak tau, coba kamu susul secepatnya. Sekarang Ka.” Telepon diputuskan. Buru-buru meraih sepeda, pikirannya mencoba menyusun berbagai hipotesis mengapa Dina pergi tanpa ada pemberitahuan padanya atau Raka. Jika ia membawa backpack, jelas ia akan pergi untuk waktu yang lama. Tapi kemana? Sebelumnya Dina tak pernah bercerita apa-apa. Apa yang sebenarnya ia dilakukan? Mungkin dia ada keperluan mendesak hingga tak perlu memberitahuku atau Raka. Segala pertanyaan ini begitu memburu, begitu pula dengan waktu. 09.45 am.

Sudah dua botol air minum diteguk habis oleh Eza, tapi tetap saja tak mampu memuaskan rasa hausnya atau mengembalikan energinya. Pun sudah begitu lama ia duduk, tetap tak dapat menghabiskan lelahnya. Hipotesis yang sejak tadi ia rangkai juga tak dapat memberikan petunjuk mengapa Dina, teman baiknya dan Raka, tiba-tiba pergi jauh tanpa memberi kabar. Apakah reaksinya ini berlebihan? Toh, Dina juga punya privasi. Dia tak perlu melapor pada mereka akan melakukan apa atau mau kemana. Tapi, instingnya berkata lain. Ah, lagi-lagi hanya dugaan.

“Nggak tau kenapa, tadi pengen ngajak Dina jalan-jalan pagi pake sepeda. Kalo nggak ke kosannya, aku nggak bakalan tau ternyata dia mau pergi.”

“Aku juga baru tau dari kamu. Mungkin ada keperluan mendesak Za.” Raka mencoba mewakili alasan mengapa Dina pergi tanpa sebab.

“Oke, tapi kenapa handphone-nya mati? Kalaupun memang mendesak, dia kan nggak perlu matiin handphone segala,” bantah Eza.

“Apa dia nggak pengen diganggu? Atau low battery? Karena buru-buru nggak sempet nge-charge,” Raka malah menjawab dengan pertanyaan.

Eza tak mendebat lebih jauh. Ia hanya ingin pulang dan tidur saja. Berharap tidak ada apa-apa dan esok ia bisa melihat senyum manis Dina. Ia bangkit dari duduknya, disusul Raka. Mereka berpisah tanpa banyak kata. Semoga hatiku benar, kalau reaksiku ini berlebihan, batin Eza. Sementara Raka masih berpikir, mencoba mencari alternatif dugaan mengapa Dina pergi.

Dina berhenti menatap ke luar jendela, bergeser ke pinggiran tempat duduk kosong di sebelahnya. Selain menatap pemandangan saat kereta berjalan, ia juga suka melakukan hal ini: melihat gerbong di depannya meliuk-liuk kaku sambil mendengarkan mesin kereta api yang menderu. Merasa puas, ia kembali menekuni pemandangan di luar jendela. Melihat kilasan rumah-rumah penduduk yang tinggal—terlalu—dekat dengan rel kereta atau bentangan sawah nan hijau.

“Naik kereta itu menyenangkan. Coba dengarkan irama mesinnya yang melaju, bunyi remnya yang tajam, atau suara‘klakson’nya yang mengejutkan. Semacam musik yang tak teratur, tapi menarik,” ujarku sok filosofis saat ngobrol di cafe favorit kita pada suatu sore. “Alaaaaah, bilang aja sebenernya dari TK kamu emang suka nyanyiin lagu ‘Naik Kereta Api’ tuuuut.., tuuuut..., tuuuut...,” Raka menimpali dengan bibir monyong saat menyanyikan lagu wajib TK itu. Tanganku langsung mengacak-ngacak rambutmu yang lebat, seperti anak kecil yang tak terima cokelatnya diambil. Lucu jika mengingatnya kembali. Dina menghela nafas. Semoga kalian sudah baca emailku.

01.15 pm

Raka mengunci stang vespanya. Untuk beberapa saat ia masih terpaku mengingat apa yang telah dilaluinya hari ini. Ia merasa seperti tak mengenal Dina, karena teman perempuannya itu tak pernah mendadak melakukan hal yang mengejutkan. Kalaupun ada, pastinya menyenangkan.

“Dina?” Aku tersentak melihatmu berdiri di depan pintu rumah kontrakanku.

“Ya, Raka..., kenapa? Keberatan ya aku ke sini?”

“Ngg..nggak kok,” aku terbata.

“Kamu sih, menghilang aja bisanya. SMS, telepon, email, chat-ku dianggurin. Ada apa sih Ka?”

Aku patah hati.

“Hmmm, nggak kok Din, cuma pengen sendiri aja, lagi males,” jawabku datar.

“Wah, aku ganggu donk dateng tiba-tiba,”

“Nggak Din, nyantei aja,”

“Dari tadi itu ya, jawaban kamu nggak, nggak, aja. Kalo aku dipersilakan masuk gimana? Boleh nggak?”

Mukamu tampak konyol Din. Aku tak bisa menahan senyum. Sepertinya ini senyum pertamaku yang paling ‘lepas’ sejak aku patah hati.

“Ya boleh lah Din.., ayo masuk,”

“Aku hubungin Eza nggak apa-apa ya? Biar rame, abisnya kamu kayak orang sakit,”

“Iya.., iya..,”

Kudengar kamu bercakap-cakap dengan Eza. Mengomandonya untuk datang ke kontrakanku.

“Eh Ka, aku bawain es krim kesukaan kamu nih, stroberi kacang,” ujarmu setengah berteriak saat aku berlalu ke kamar mandi untuk cuci muka. Sesaat aku kembali, kamu terus aja ngomong.

“Heran ya, kamu tuh cowok, sukanya es krim, rasa stroberi lagi. Kayak cewek aja,” tambahmu.

“Yeee, biarin kaliii, aku kan cowok romantis,”

“Huuu, bukan romantis..., adanya juga melankolis...,” Dengan seenaknya kamu mengacak-acak rambutku.

Aku masih duduk di jok vespaku. Tersadar, aku pun tersenyum mengingatnya lagi. Segera kubuyarkan memori itu dan beranjak membuka pintu rumah. Bisa-bisa aku jadi kangen sama kamu Din. Tapi otakku tak mau kompromi. Aku tergoda untuk mengingat caramu berbicara, senyummu, kekonyolanmu, alasan-alasanmu tentang sesuatu yang kadang terdengar sok filosofis. Dina..., Dina...

Tapi sejak kejutanmu yang menyenangkan itu, aku sadar bahwa aku tak seharusnya melarikan diri, membuat dunia semakin sempit, katamu. “Apapun masalah kamu, jangan menutup dirimu sendiri,itu bikin kamu terbelenggu. Lari pun bukan jawabannya, karena itu justru bikin dunia main sempit. Coba buka pandangan kamu, lihat dari sisi yang berbeda. Kamu bisa lakukan itu kalau kamu buka hati dan pikiranmu. Ikhlas Ka, ikhlas,” tuturmu lembut saat itu. Kata-katamu terlalu canggih untuk dimengerti bagiku yang sedang patah hati. Tapi yang aku rasakan semangatku mulai terisi kembali. Kali ini kamu tak seperti biasanya—sok filosofis. Justru yang kudengar adalah ketulusan. Apa adanya.

Kamu juga bilang, kuncinya ada padaku. Tinggal bagiku memilih: menutup diri dan terus lari atau hadapi segalanya. Tepat sepuluh hari kemudian, aku memutuskan untuk berani. Aku menemuinya. Mengatakan kalau aku akan menerima. Aku katakan padanya akan meneruskan hidupku dengan kedewasaan walaupun tanpanya. Aku pun dengan besar hati akan mendoakan kebaikan untuknya. Padahal, kamu tak pernah benar-benar tahu masalahku saat itu. Tapi kamu tahu, masalah sedang berada di ubun-ubunku, dan kamu sangat tahu bagaimana menghadapinya. Kuncinya memang ada padaku Din, tapi kamu yang mengantarkanku untuk menemukannya.

Raka meniup halus seduhan kopi hitam panas sambil menatapi layar komputer. Walau siang ini minum kopi rasanya tak tepat, ia tak peduli. Seperti mengudap es krim saat hujan. Dia tak butuh keterkaitan antara cuaca dan jenis minuman. Lalu kenapa? Itu hanya sebuah konstruksi yang dibangun orang kebanyakan.

Raka berhenti menyeruput kopinya dari bibir cangkir, ia manatap layar komputer lamat-lamat. Tak salah lagi.

“Za? Buka email kamu sekarang!”

Email?”

“Buka. Sekarang.”

Telepon diputus.

Eza dan Raka yang baik,

Aku harus pergi, mungkin beberapa minggu. Tenang, aku baik-baik aja kok. Maafkan, ngedadak gini. J

-Dina-

Eza bersandar lemas di kursi. Cuma ini kabar yang ditinggalkan Dina. Ini malah tak memberikan petunjuk atau membuktikan salah satu hipotesisnya dapat diterima. Justru menimbulkan pertanyaan dan dugaan lain. Teka-teki macam apa ini? Ia lelah bertarung dengan dugaan yang ia bangun sendiri, demi memuaskan hasratnya. Mencari probabilitas yang logis dan tepat mengapa Dina pergi, kemana, dan yang peling penting: kapan ia akan kembali. Atau jangan-jangan tak akan kembali?

Ia menjauh, membiarkan emailnya begitu saja.

“Hoi Za!”

Aku tersentak.

“Ngelamun aja. Pinjem pensil dong,”

Tanpa banyak tanya aku menurut.

“Duh Eza, aku tu pinjem pensil, bukannya stabilo,” Kamu protes.

“Duh Dina, apa bedanya sih stabilo sama pensil? Mau kamu pake buat nandain itu buku kan?” Aku balas menirukan nada bicaramu.

“Gini ya Za,” Aduh..., aduh..., mulai lagi nih ceramah filosofisnya. Aku salah tanya. “...fungsinya emang sama, tapi sensasi saat makenya beda. Hmmm, kalo make pensil, rasanya seperti aku bisa menggambar. Aku nggak ngerasain itu waktu make stabilo. Ini buku emang udah penuh aksara, tapi Za, garis lurus dari mata pensil aja punya makna penting,” jelasmu panjang lebar.

“O.., seperti tatapan mata kamu sekarang,” tambahmu tiba-tiba.

“Apa?” Aku merasa tuli sehingga harus menanyakan apa yang baru saja kamu katakan. Kamu menutup buku yang sejak tadi kamu bolak-balik halamannya.

“ Iya.., dari tadi kamu itu natap aku, lurus dan serius,”

Oh No. You Got me.

“Kamu ngelamun lagi atau ngedengerin aku?”

Tidak ada penjelasan. Lebih baik pasang tampang aneh sambil senyum.

Keningmu berkerut sambil geleng kepala.

“Huuuh, kamu mulai absurd Za.”

Ini rokok kedua yang kuhisap. Resah membaca emailmu. Abu rokok menyentuh kulit kakiku. Aku melamun Din, mikirin kamu. Merindumu. Belum genap sehari kamu tiba-tiba pergi, sekarang aku sudah kangen kamu Din.

Kamu bilang aku seperti anak SD, bisa-bisanya pensil diruncing ujung pangkalnya. Aku tak bisa mendebatmu. Gelak tawamu sudah cukup untuk membuatku bungkam. Puas “menggambari” bukumu, aku masih ingat caramu menikmati sepotong cheese almond cake di cafe yang sering kita kunjungi. Kamu mencuil irisan tipis kacang almond di atas krim menteganya dengan garpu. Ketika almond itu menyentuh lidahmu, kamu mulai bergaya menirukan Bondan Winarno mengomentari makanan. Bedanya, tak ada kamera di depanmu. Hanya ada aku. Mataku yang tak lepas menikmati gayamu itu. Seperti seorang fans menatap artis idolanya tak jemu. “Irisan almond-nya terasa fresh. Bercampur dengan krim mentega dan paduan gula yang pas di lidah,” katamu sok tau.

“Begitu lembut,” tuturmu ketika memotong kue favoritmu itu. Rasa kejunya yang tajam dan unik membuat rasa cintamu bertambah pada keju. Itu yang kau katakan. Pikiranku seketika melayang. Betapa beruntungnya keju itu, dicintai perempuan seperti dirimu. Kamu menikmati setiap kunyahan potongan kue itu di mulutmu. Merasakan dengan cermat taste-nya yang bergelayut di lidahmu. Jika setiap cafe memiliki pelanggan sepertimu maka mereka pasti akan berlomba menciptakan kreasi yang terbaik. Bukan karena komentar-komentar sok taumu tentang menu mereka. Tapi karena kesenangan yang kau munculkan saat menikmati sajian mereka. Penghargaan atas apa yang mereka buat. Selalu punya alasan di balik sesuatu. Itulah kamu Din. Tapi aku tak menemukannya kali ini.

Titit.titit.

Apa yang akan kita lakukan? Aku khawatir dengan Dina. Kita harus coba mencarinya Za,

Eza terpaku sejenak setelah membaca pesan singkat Raka. Mencari Dina terlebih dahulu mungkin ada baiknya juga. Dengan cepat jarinya menjelajahi tombol handphone, membalas pesan Raka.

06.45 pm

Pencarian Dina dimulai. Eza dan Raka kembali ke titik awal. Perempuan yang tinggal di kamar sebelah Dina diinterogasi sedetail mungkin. Mereka seperti detektif mencari buronan kelas kakap. Dina memang punya banyak teman, tapi ia tak punya saudara di kota ini. Selama setahun berteman, mereka hanya tau kalau Dina punya seorang kakak laki-laki. Ia hanya pernah cerita kalau sudah lama abangnya tak menghubunginya, persaudaraan mereka memang tak terlalu dekat. Sementara keluarganya tinggal di kampung halaman. Mencari peruntungan menjadi alasan mengapa ia ada di kota ini.

Tak begitu banyak hasil. Perempuan kamar sebelah itu hanya tahu kalau malam sebelum berangkat Dina memang mengatakan akan pergi dulu, “Mungkin lama,” begitu katanya. Dina menolak mengatakan tujuan keberangkatannya, malah mengalihkan jawaban. “Ya.., ngedadak ada perlu nih.”

Raka nekat mengajukan ide untuk menyusul Dina ke kampungnya.

“Kita nggak tau apa-apa Ka,”

“Tapi kita kan bisa tanya-tanya Za. Transportasi dan semacamnya,”

“Kereta api!” Eza tiba-tiba berseru.

“Iya Za! Tapi.., apa benar tujuan Dina pulang ke kampungnya itu? Setahuku, ke kampung Dina harus nyebrang pake feri Za, dan seharusnya dia naik bus,” tandas Raka.

Mereka tak henti mencari kemungkinan yang ada. Percakapan mereka berlanjut dengan analisa-analisa tentang sikap Dina beberapa hari terakhir sebelum dia berangkat. Sampai lelah mengingat dan berdebat, Raka sembarang memencet-mencet tombol handphone-nya, kendati telah dikunci. Berulang kali, layar handphone-nya itu bercahaya dan seketika mati. Sementara Eza meraih rokok dari atas meja.

10.55 pm

“Sudah setahun kita kenal Dina, tapi, rasanya kita masih tak banyak tahu tentang dia.” Eza membuka pembicaraan setelah lama hening.

“Ya..., mungkin kita seharusnya tenang. Seperti yang ia katakan dalam email. Mungkin dia memang ada keperluan yang mendesak.” Raka meneguk cafe latte-nya yang sudah dingin. Black coffee tak jadi pilihannya kali ini karena ia merindukan Dina.

“Mungkin Ka, mungkin..” Eza hanya mengangguk perlahan. Hening menyelimuti mereka lagi. Suasana cafe favorit mereka yang cukup sepi malam ini seolah mendukung absennya Dina. Tak ada obrolan konyol, atau alasan-alasan ‘maksa’-nya Dina yang meramaikan malam itu.

11.23 pm

“Apa diskusinya nggak kita lanjutin besok pagi saja?”

“Nggak usah, sekarang aja. Lagian aku tadi udah istirahat kan,” Dina memaksa untuk dituruti. “Jadi, rute kita kemana?” tambahnya excited.

“Sampe Bali gimana?” usul suara berat di depannya. Dina malah membuka peta dan menunjuk satu pulau lagi.

“Hmmm, nanggung. Udah, kita bablasin sampe Lombok aja,” ujarnya mantap.

Budgetmu cukup nggak?” Kini lengan besarnya menopang dagu.

“Oo, justru itu pertanyaan buatmu. Aku sudah banyak menabung beberapa bulan ini,” Dina tak mau diremehkan.

“Oke, kita berangkat lusa,”

“Setuju. Besok jalan-jalan dulu ya, aku kangen bakpia,”

Dina membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja, menutup peta, menumpuk travel books ke sisi kiri meja. Kursi berderit saat suara berat itu berkata tiba-tiba.

“Din,”

“Hmm?” Dina menaikkan alisnya.

“Maaf mengacuhkanmu terlalu lama.” Mereka saling tatap. Dina mengulum bibir mungilnya. Sunyi cukup lama hingga Dina mencoba menyunggingkan senyum.

“Sudahlah..” Ia merasa canggung. Kali ini ia tak punya kata-kata yang tepat untuk sekadar mengatakan ‘tidak apa-apa’ atau memang seharusnya ia mengatakan hal itu saja. Lelaki itu mengangguk kecil.

“Kamu sehat-sehat saja kan?” Pertanyaan yang biasanya muncul diawal pertemuan ini malah baru terucap setelah diskusi panjang dari rencana perjalanan mereka.

“Aku sehat dan baik. Hanya saja, semoga ini awal yang bagus.” Senyum mengakhiri ucapan Dina dan ia berbalik menuju kamar.

Dina duduk di bibir kasur. Memandangi handphone-nya yang tak menyala sejak keberangkatannya tadi pagi. Ia meraihnya, menggosok-gosok layarnya begitu lama. Ada ragu untuk menghidupkan ponselnya itu. Takut Eza atau Raka mendadak menghubunginya. Sebenarnya ia hanya ingin membaca lagi pesan singkat yang dikirim Handi minggu lalu padanya. Tapi, rasanya itu tak perlu. Pesan itu tak sulit untuk diingat.

Let’s rock our plan travel!

Tak perlu baginya menanyakan kabar. Ia hanya tahu kalau aku masih memimpikan untuk menjejakkan kakiku ke Legian, pantai Kuta, atau berbelanja di Pasar Sukawati. Bahkan kini aku malah menambah daftar perjalanan kami: Lombok. Aku tentu harus membiasakan diri dengan segala kecanggungan yang mungkin akan sering terjadi. Tapi, dia itu kakakku, jadi kenapa harus canggung? Mungkin karena sudah lama tak bertemu, atau karena sudah terlalu lama dia tak menanyakan kabarku.

Sejak pesannya itu, aku pun memutuskan untuk ikut dengannya. Ya..., lagian aku harus menjauh dulu dari mereka—Eza dan Raka. Guys, aku bukan perempuan bodoh yang tak bisa membaca gestur kalian. Aku tahu, ini bukan sekadar gede rasa. Aku tak perlu memastikan apa yang tersirat dari air muka kalian saat menatapku. Begitupun dengan sikap yang kalian bangun, perhatian yang kalian beri. Bagaimana kalian tiba-tiba tengah malam buta tiba-tiba menghubungiku,

“Din, lagi ngapain?” atau,

“Din, ganggu nggak?” atau begini,

“Din, besok beli buku yuk?”

HELLOOOO..., guys, kalian itu teman baikku, yang biasanya tanpa ba bi bu langsung mengatakan apa yang ingin kalian obrolkan. Berbagi denganku tanpa perlu bertanya, ganggu nggak?

Kalaupun analisisku belum juga cukup kokoh maka kuajukan situasi berikut ini: bagaimana mungkin selama empat belas hari berturut-turut, kamu Za, mendadak jadi breakfast deliver? Mengetuk pintu kamarku jam 7 pagi, mengantarkan bubur ayam, nasi kuning, lontong kari, nasi goreng..., mengajakku olahraga pagi padahal kamu tau aku tidak suka karena aku lebih memilih untuk tidur. Tapi kamu malah bertahan dengan alasan, “Hidup sehat dong Din, teratur, lagi sibuk kan? Entar kamu sakit kan nggak lucu,” begitu katamu.

Raka..., kamu juga sama. Mendadak kamu jadi paling tahu aku yang sangat suka makan. Hal ini jelas tidak lagi sekadar kebutuhan primer bagiku, tapi sudah menjadi hobi. Tak terhitung berapa banyak camilan yang kamu bawa untukku: pisang bakar keju cokelat susu, roti bakar keju susu, surabi keju cokelat, martabak keju susu kismis..., ketika kutanya ada apa, alibimu:

“Nggak Din, kebetulan aku lewat tempat surabi yang sering kita beli, jadi sekalian aja beliin buat kamu,” dan...

“Katanya kemaren kamu lagi pengen martabak, jadi aku beliin...” dan begini...

“Kamu kan lagi sibuk, harus banyak makan Din, entar sakit kan nggak lucu...”

Tak peduli hujan, gerimis, panas terik, setiap sore kamu selalu datang dan membawa makanan favoritku. Ada apa gerangan?

Apa aku harus mencari alasan lain untuk sebuah pembuktian? Dina mendaratkan tubuhnya di kasur. Sudah larut. Lebih baik mengarungi dunia mimpi dimana semua masalah terlupakan sejenak. Barangkali ada pencerahan di sana.

07.30 am

Raka terpaku melihat deretan sent items yang ia kirimkan ke alamat email Dina. Sementara kotak masuknya tak menunjukkan tanda-tanda balasan dari Dina. Ia nelangsa. Pesan singkat yang ia layangkan sejak tadi malam pun melaporkan hal yang tak jauh berbeda. Pending. Pending. Pending. Offline chat-nya juga sama saja. Semuanya nihil. Dina bagai ditelan bumi.

Matanya merah menyiratkan kelelahan. Bukan hanya lelah mencari kabar Dina, tetapi juga lelah karena tak tidur semalam. Raka bukan lelaki yang terbiasa begadang. Kalaupun terpaksa, ia harus minum suplemen, bukannya kopi. Kepalanya perlahan semakin menunduk di depan layar komputer, hingga lengannya tak mampu lagi untuk menopang wajahnya, ia tertidur.

08.05 am

Detik jam dinding berdetak pelan. Waktu terasa lambat berjalan bagi Eza. Ia hanya mematung melihat jam dinding. Seakan perlu baginya, untuk menghitung berapa kali detik jarum jam itu berputar sehingga satu menit bisa berlalu tanpa kegelisahan. Ia sudah habis akal. Email, SMS, telepon, chat. Tak ada kemajuan. Ada yang lebih laik yang bisa dilakukan selain menunggu? Ia mematikan rokoknya. Tanpa ada perintah, tubuh Eza langsung rebah di atas kasur. Mungkin tidur lebih baik. Ketika bangun, berharap Dina nanti berdiri di depan pintu rumahnya, mengatakan bahwa ini hanya bualan semata.

03.25 pm

Titit. Titit.

Dengan bunyi dan getar ponselnya di atas meja, Raka tersentak dari tidurnya. Lehernya terasa kaku karena tidur dengan posisi yang tak sempurna, hanya berbantal lengan. Raka meraih ponsel dan membuka pesan. Shit. Ternyata dari temen kantor. Laporan? Ini kan hari libur, sesalnya. Merasa suntuk, sepertinya ia harus keluar rumah.

Satu jam kemudian ia sudah berada di cafe favorit mereka bertiga. Ia tak perlu lama untuk bersiap. Tak perlu mandi, ganti baju, atau menyisir rambut. Karena yang ia perlukan saat ini hanyalah Dina. Berada di depannya, sambil meneguk secangkir cafe latte panas. Mendengar gumamannya saat menerawang, berpikir mencari kata yang pas untuk mengekspresikan perasaannya. Saat melihat ke sisi jalan, otaknya me-recall memori ketika Dina menunggunya di depan cafe.

Aku tahu aku terlambat. Tapi, memperhatikanmu dari kejauhan adalah momen langka. Karena aku tak perlu tertangkap mata ketika sedang menatapmu. Tak ada salahnya bagiku untuk menikmatinya sejenak. Aku memandangimu yang sedang berdiri di depan cafe. Mengusap-usap telapak tangan berulang kali ke celana jinsmu sambil sesekali melirik waktu di jam tangan. Bola matamu tak berhenti menyisir segala penjuru, berharap penantian ini segera berakhir. Itu kebiasaanmu ketika gelisah, dan setidaknya aku bisa puas tersenyum. Tak perlu khawatir terlihat olehmu. Tapi, yang paling membuatku iri adalah saat kamu memegang erat sebuah buku di tangan kananmu. Aku tak perlu tahu buku apa itu gerangan sehingga harus kau bawa dan memegangnya erat. Karena yang ada di pikiranku adalah tak ternilai rasanya jika akulah yang kamu genggam erat Din. Setidaknya seperti lirik The Beatles, now let me hold your hand.., I wanna hold your hand...

“Maaf Din, telat,” sapaku dengan nafas tak teratur. Rasanya ini bukan karena tadi aku setengah berlari, tapi karena aku sudah di dekat kamu.

“Hmmm, ada sapaan yang lebih bagus daripada ‘maaf’ nggak?” jawabmu cuek.

Tanpa ragu, aku langsung menyodorkan sebatang Silverqueen ukuran besar dengan isi kacang almond. Kesukaanmu. Kamu melirik, kedua sudut bibir tipismu sedikit terangkat.

“Tapi kan seret kalo makan cokelat nggak ada minum,” ujarmu berkilah.

Sekarang, kesukaanmu yang kedua. Nescafe Cafe Latte. Ya kan?

“Oke, permintaan maaf diterima. Saatnya makan!”

Kali ini senyummu benar-benar merekah. Hanya kesejukan yang kurasakan di tengah cuaca panas saat ini. Seperti salju yang turun di tengah gurun. Seperti Snow in Sahara, begitu kata Anggun C. Sasmi. Namun bagiku, jika salju memang tak mungkin adanya, hujan pun tak apa Din..

Tik. Tik. Tik. Tik. Tik.

Hujan??

Kenapa jadi hujan gini? Apa alam juga ikut-ikutan mengingatkanku pada Dina?

Tapi, cuacanya memang mendung..

***

Hampir dua bulan lebih berlalu. Eza dan Raka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sebenarnya memaksakan diri untuk sibuk. Mereka tak mungkin menyibukkan pikiran dan perasaan mereka dengan satu subjek saja: Dina. Ada kehidupan yang harus mereka jalani. Walaupun tak dapat dipungkiri mereka sangat rajin mengecek email, online dengan harapan nama ‘dina_theonlyareason’ menyala, tak berhenti mengirim pesan, bahkan pantang menyerah untuk terus mencoba menelpon. Jika ada lembur, mereka mendadak jadi garda depan untuk melaksanakan tugas hingga larut. Hal ini sungguh diluar kebiasaan. Raka berubah menjadi kalong: malam begadang, subuh ia manfaatkan untuk tidur sejenak. Pulang dari kantor akan ia teruskan dengan tidur panjang. Kemudian terjaga ditengah malam dan meneruskan pekerjaannya.

Eza malah sering ke luar kota. Proyek yang tengah ia kerjakan membantu untuk menyita waktunya. Baginya ini lebih menyenangkan, daripada berkutat pada pertanyaan: kapan Dina akan kembali? Pertanyaan yang tak mungkin dijawab olehnya. Seperti menebak-nebak ke mana sehelai bulu angsa akan jatuh. Ia tak akan pernah tahu. Beginilah hidup. Penuh teka-teki, pun penuh kejutan.

Sending message...

Eza, Raka,

Sore ini, jam 4 aku tunggu di cafe biasa ya, :D

-Dina-

Di tengah meeting, Raka tergoda untuk membuka pesan singkat yang bergetar di ponselnya. Tak biasa. Kemampuannya untuk mengacuhkan hal-hal remeh seperti ini sudah tak diragukan. Tapi entah kenapa kali ini ada dorongan kuat untuk..., “Permisi Pak, saya harus keluar sebentar, ada panggilan penting,”

Si bapak tua pemimpin rapat mengangguk kecil. Sepertinya tak perlu protes mengingat kinerja Raka yang habis-habisan pada proyek yang lalu. Sesekali untuk bergerak diluar kebiasaan tak menjadi masalah.

1 message recieved. Opening message.

Shit. Shit. Shit.

Jauh dari tempat Raka berdiri, Eza sedang duduk di samping supir untuk perjalanan dinasnya ke luar kota. Seketika ponselnya berbunyi.

Opening message...

Shit. Shit. Shit.

“Mas, kita balik lagi ke kantor,” Eza mendadak gusar.

“Lha Pak, bukannya..,”

“Sekarang! Putar balik!”

03.28 pm

Dina tengah berkutat dengan bukunya. Mengetuk-ngetukkan pensil ke meja, memainkannya dengan jari telunjuk dan jempol. Secangkir cafe latte panas mengepulkan asap halus ke udara. Semilir angin membalik halaman buku yang sedang dibacanya dengan paksa. Rambut pendeknya yang ikal dengan mudahnya diterbangkan angin. Ia pun menyelipkan rambutnya itu di belakang telinga.

Jam digital pada dashboard mobil menunjukkan pukul 04.20 pm

“Apa kita harus protes padanya?”

“Kita protes pun nggak akan ngaruh Ka,” Rasanya tak pernah Eza memperhatikan jalan secermat kali ini. Air mukanya menyiratkan antusias.

“Maksudmu?” Raka menginjak rem. Ini karena lampu merah memaksa berhenti.

“Kamu tahu kan, Dina itu paling bisa menenangkan. Segusar apapun kita, seprotes apapun kita, bahkan semarah apapun kita, dia sangat ahli untuk membuat kita bungkam dan mendengarkannya. Kamu ngerasain itu kan Ka?” Eza berbicara tanpa jeda.

“Ya Za, kamu bener,” Raka terpaku.

“Kita lihat saja Ka,”

04.40 pm

Lagi-lagi hening. Seakan hanya ada mereka bertiga walau cafe itu jelas ramai. Eza hanya mematung melihat cangkir cafe latte yang sudah kosong. Sementara Raka menatap sisi jalan yang padat. Dina tahu hal ini akan terjadi, dan ia tahu ia bisa menghadapi kekakuan dua orang teman baiknya ini. Ada protes yang meletup-letup dan segenap kemarahan yang akan meledak seperti bom waktu, tersirat dari wajah mereka berdua. Juga dari sikap yang mereka munculkan.

Walaupun terdengar basi, ia tetap mencoba untuk bertanya.

“Apa kabar Za? Ka?” Dina tersenyum tipis.

“Kamu kemana?” Eza malah balik bertanya.

“Kenapa baru balik sekarang?” Raka tak dapat menyembunyikan nada protesnya.

Dina hanya bisa diam untuk sementara, menatap kedua temannya itu seksama. Karena obrolan itu ternyata berlanjut pada protes-protes yang dengan sendirinya keluar dari hati mereka. Mereka seperti anak kecil saja, seperti merengek minta diberi alasan mengapa tak boleh makan cokelat jika sakit gigi. Namun, ia tahu ia harus bisa menerima sikap teman-temannya ini. Dina pikir, ini akan memakan waktu yang lama. Tapi ternyata lebih singkat daripada yang ia duga. Dalam benak Eza dan Raka, rasa marah, gusar, dan protes mereka memang tak bisa bertahan lama. Karena tatapan lembut Dina menghentikan segalanya.

“Aku minta maaf. Beberapa hari sebelum pergi, kakakku menghubungi. Ia kembali lagi. Kalian tahu ini kesempatan bagiku. Karenanya, aku harus pergi. Tak ada waktu untuk menjelaskan pada kalian berdua. Lagipula, aku merasa kalau kita bertiga juga perlu untuk menikmati waktu masing-masing.” Dina menjelaskan begitu tenang. Tak ada kesan buru-buru dari cara bicaranya.

Perlahan, semuanya mencair. Eza dan Raka luluh dengan penjelasan Dina. Mereka tak berhak protes. Toh, selama setahun berteman baik Dina sudah terlalu sering menjalani waktunya bersama mereka. Tak banyak protes seperti yang mereka lakukan barusan. Walaupun sering, Dina pun sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sampai-sampai akumulasi waktu yang mereka jalani bersama telah membuat Eza dan Raka merasakan hal yang berbeda pada Dina. Rindu yang tak lagi sama.

“Aku akan pindah,” ujar Dina tiba-tiba. Belum sempat mereka komentar, Dina sudah melanjutkan.

“Aku dan kakakku sedang merencanakan sesuatu. Ia yang mengusulkannya padaku,” tambah Dina kalem.

“Rencana apa Din?” Raka bersuara.

“Hmmm, aku masih belum bisa cerita. Ini penting buat kami berdua. Nanti kalau sudah pasti, aku juga akan kabari kalian,”

Mereka berdua tak tahu sebaiknya bertanya apa, agar Dina membuka peluang bagi mereka untuk mengetahui.

“Bagaimana pekerjaan kalian?” Dina mengalihkan pembicaraan sambil tersenyum cerah. Tak ada dari mereka berdua yang dapat menolak untuk bercerita. Obrolan panjang dimulai.

08.15 am

“Bagaimana? Kamu yakin untuk pindah Din?”

“Tentu Kak. Cafe dan Resto itu juga impianku.”

“Baiklah. Kita berangkat sekarang?”

“Hmmm, sebentar kak, aku harus kirim email dulu,”

“Oke, aku angkat barang-barangmu ke mobil ya,”

Dina termenung. Aku tidak melarikan diri dari kalian. Mana mungkin aku bisa memilih. Kalian berdua temanku. Justru inilah yang menurutku paling baik, aku memilih untuk merekatkan kembali hubungan dengan kakakku. Kepindahan ini setidaknya dapat membuat kita bertiga tetap berteman, bukan berubah ke arah yang lain, atau malah terpecah. Seperti sinetron saja.

Compose. No subject.

09.00 am

Raka masih terjaga. Membereskan data-data komputernya. Tak tahu mengapa, ia malah tak ingin tidur. Entah karena sudah terbiasa begadang atau karena terlalu gembira semalam bertemu kembali dengan Dina. Tiba-tiba Raka berhenti mengklik folder pada monitor komputernya. Pikirannya melayang, ia tak mau kehilangan kesempatan lagi, secepatnya ia akan katakan pada Dina bahwa rindu yang ia rasakan tak lagi sama. Tak laiknya seorang teman. Kini, Raka tergoda untuk online. Berharap ‘dina_theonlyareason’ menyala dalam chat-nya.

Sign in. You have one new message.

Sementara Eza merasa harus mandi walaupun ia belum tidur semalaman. Mungkin karena pengaruh hatinya yang segar karena Dina telah kembali. Akhirnya, setelah sekian lama, pertanyaan kapan Dina kembali terjawab sudah. Tapi kulitnya tampak sedikit lebih cokelat. Justru itu bukanlah apa-apa, karena perasaannya—yang jika tak segera dikatakan—akan menjadi masalah. Sejenak perhatiannya tertuju pada komputer yang ia biarkan menyala sejak ia mandi. Ternyata satu email baru telah masuk di inbox-nya.

From : Dina Kusumanjayani

To : Eza Ramdan Wijaya , Raka Riansyah

Subject: no subejct

Za, Ka,

Aku pamit ya, aku harus berangkat sekarang. Always keep in touch with me, okey? Maafkan, jangan marah dan protes dulu. Kalau proyekku ini berhasil, aku akan undang kalian waktu soft opening-nya (doain ya), but remember, bring on your partner! :D

-Dina-


No comments:

Post a Comment