Helaan nafasku mengandung beban berat. Layaknya berlari ratusan kilometer tanpa jeda. Ratusan hari yang terbentang pun dilalui dengan rasa penat. Seperti berenang di lautan tanpa tahu batas daratan. Lelah, tapi ku tak bisa berhenti. Kalaupun aku bisa, ada ikatan yang teramat kuat yang menahannya. Energi yang ku miliki untuk melepaskan diri perlahan mulai habis. Aku telah capai berkata-kata. Mau otak, mau hati ya sama saja. Kedua bagian tubuh yang menduduki jabatan penting ini juga sudah tak mau toleransi. Otakku sudah menyampaikan seluruh logika dalam berkata-kata, seluruh alasan yang ku punya, segalanya telah dimuntahkan. Begitu pula halnya dengan hati. Hati pun sebenarnya berbicara. Sudah pernah mencoba dengar suara hati? Aku sudah, tapi dia tidak. Tidak sama sekali.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Mungkin satu-satunya cara adalah biarkan semuanya mengalir seperti air, biarkan waktu menunjukkan apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan kita. Menunjukkan bagaimana adanya, dan biarkan Tuhan yang memaksamu untuk mengerti bahwa beginilah adanya. Cinta ini sudah kehilangan alasannya untuk berdiri tegak. Sayang ini pun telah lelah bertarung dengan logika, pertengkaran ini seperti lingkaran setan. Tak ada habisnya. Tak ada akhirnya. Rindu ini juga telah pupus seiring dengan memudarnya benteng alasan yang sudah berusaha kubangun untuk dirimu.
Semuanya perlahan kau rubuhkan. Kau coret dinding itu dengan warna-warna gelap nan menyedihkan. Kemudian kau tutupi lagi dengan warna baru, lebih cerah. Namun kau lakukan lagi hal yang sama, berulang-ulang. Hingga akhirnya coretan kelam itu tak mungkin lagi untuk ditutupi bahkan dihapus. Berulang kali kau lakukan itu, berulang kali pun aku mencoba percaya, segalanya masih bisa diperbaiki. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada yang sempurna. Tapi, kau sudah sangat sempurna di mataku. Hanya saja, mengapa hal itu dapat berubah sekejap mata. Seolah ribuan hari yang kulalui bersamamu tak ada arti. Kau tahu, seorang seniman pun tak akan melakukan hal itu pada sepetak kanvas yang perawan.
Tapi sayang, kau congkel lagi rasa percaya yang kusediakan dengan manis untukmu. Tak tanggung-tanggung, kini kau pukul batanya. Kini, bangunan itu pun sudah bolong dibanyak sudut. Sakit juga rasanya. Tapi kau malah bilang, “Aku yang sakit!” ucapmu dengan nafas tertahan. Ah, tau apa kau soal rasa sakit?
Kali ini, perasaanku lah yang berkata-kata. Bukan otak, bukan logika, bukan pula bibir. Tak bisakah kau mendengarnya? Aku hanya minta, sayang, sayang, sayang, tajamkan pendengaranmu, dengarkanlah hati ini berbicara.
Aku sudah berada pada titik puncak. Bangunanku hampir roboh. Alasanku hampir terkikis. Hatiku seperti sebuah kapal tanpa arah. Adakah kau berpikir untuk menyelamatkannya? Mencoba membangun kembali dengan segenap kesungguhan ditambah dengan sejumput pengertian. Itu saja. Atau mungkin, cukup waktu saja yang tunjukkan padamu. Bagaimana akhirnya cerita ini. Walau aku yang memegang urat nadimu, menentukan deru nafasmu, dan menggenggam erat hatimu, tetap kaulah yang pegang kemudi. Kamulah tokoh utama cerita ini.
Tentukan saja endingnya. Cepat atau lambat, toh, orang-orang di sekitar kita akan tahu. Pembaca pun harus tahu. Kini aku hanya akan menunggu. Bagaimana kau mengakhiri cerita ini. Aku akan jadi penunggu setiamu dikala orang-orang sudah tak sudi mendengarkan, atau saat pembaca sudah menutup lembaran cerita ini karena bosan. Jangan-jangan cerita ini tak perlu diakhiri karena bagimu ini hanyalah sebuah surat. Mengapa diakhiri? Surat tetap saja surat. Tak perlu ada plot cerita, tak perlu ada prolog, epilog, bahkan ending. Tapi ada satu hal yang kau lupakan: ada emosi yang terselip di sana. Kali ini aku ragu kau bisa merasakannya. Mendengar hatiku saja kau tidak, bagaimana mungkin merasakan?
Aku sudah lelah berlari. Saatnya untuk berhenti. Aku tak akan meneruskan. Karena aku hanya akan menunggu. Aku sudah penat berenang di laut lepas. Aku akan berhenti sehingga aku tenggelam saja. Kau akan menemukanku jika mendengarkan hatiku, mencairkan arogansimu, meluaskan pandanganmu,dan mempercayaiku utuh adanya. Apa itu terlalu berat? Jika ya, jangan biarkan aku menunggu terlalu lama di sini.
“Gimana?”
“Wah, cuma sampe itu aja ceritanya? Tapi itu cerita bukan sih?”
Gadis itu hanya tersenyum manis. Mencoba menahan senyum lebih manis lagi.
“Ah, kamu, aku heran ya, baru 15 tahun udah sok-sok-an berpuitis ria kayak orang dewasa,” ujar temannya cengar cengir.
“Ya nggak apa-apa lah, biar dikira ngerti masalah cinta-cintaan,” tawanya nakal.
“Huuuu! Nipu kamu!” balas temannya sambil mencubit pipi gadis itu tanda gemas.
“Biarin, weee...,” sambil menjulurkan lidah, “yang penting tugas Bahasa Indonesia ku udah selesai...” suaranya menyiratkan tanda kemenangan.
“Iiiih, itu kan bukan cerita tau!!! Bu Maria kan nyuruhnya bikin cerpen! Yang artinya itu cerita pendek, bukan kayak gitu...!” teman perempuannya ini protes.
“Yeee, nggak gitu juga donk! Kalau yang protes Bu Maria aku baru mau terima..” ujarnya tak mau kalah.
“Kita taruhan aja kalo gitu! Kalau nilai aku bagus dari kamu, traktir aku makan siomay-nya Mang Okeng, minumnya jus alpuket, plus es krim. Berani nggak?” tantangnya.
“Oooo, siapa takut?! Tapi kalau nilai aku yang bagus dari kamu..., beliin aku novel ‘Confeito’ yang aku incer kemaren ya...,”
“Iiiiiih, itu kan nggak adiiiil!!!”
Teng.., Teng.., Teng.., bunyi bel sekolah membuyarkan peperangan mereka. Gadis itu beranjak dari bangku taman sambil berlari meninggalkan temannya dan berseru:
“Pokoknya kita udah sepakat...!!”
No comments:
Post a Comment