Saturday, March 19, 2011

Si Kaleng

17 Maret 2011 04.02 p.m.

Aku kosong. Akulah kaleng susu bekas yang berkarat tergolek di tong sampah. Aku yang masih terdiam kaku ini kemudian dengan indahnya melayang, masuk ke dalam ruang kosong dalam diriku sendiri. Takut-takut aku pelan mengintip dari balik bibir kaleng yang terbuka. Tutupku entah kemana perginya. Barangkali hilang terbang saat aku dibuang oleh seorang ibu muda yang tadinya membeliku. Kau dapat bayangkan ketika aku berada di rak sebuah swalayan itu. Aku dengan cantik dan mengkilap berkilau berjejer dengan kaleng susu yang lain—ada yang serupa, ada yang tidak—begitu gagah di balik kaca itu. Ya, kau tahu kan tempatku berbeda dari produk lainnya yang memenuhi rak-rak rapi di swalayan itu. Kalau kau perhatikan, aku ini biasanya diletakkan dekat dengan tempat kasir. Jelas saja, tak semua tangan dapat menyentuhku, apalagi memasukkan aku dalam salah satu keranjang belanjanya. Tentu saja hanya tangan-tangan terpilihlah yang mendapatkan aku. Walaupun aku bukan yang satu-satunya berada di rak-rak itu, setidaknya aku patut berbangga diri.

Namun kini aku kosong. Habis sudah masa jayaku. Zaman keemasanku. Bayi mungil itu begitu lahap dan dengan cepat menghabiskan bubuk susu yang kukandung sehingga aku terbuang kini. Inilah nasibku si kaleng tua. Meskipun begitu, paling tidak aku masih bisa melayangkan pikiranku ke dalam diriku sendiri. Tak peduli jika hanya kosong yang kulihat. Karat yang tampak di sekeliling dindingku. Malah kini aku tanpa tutup. Jika hujan maka air hujan memenuhiku. Jika panas mendera kau tahu rasanya. Air hujan yang tertampung itu perlahan meluap dan hanya menyisakan karat padaku.

Oh, aku berpikir... dan melayang..

Bagaimana jika aku tanpa sengaja ditemukan sekelompok anak kecil yang tengah bermain karet gelang, dililit-lilitkan di jari-jari mereka hingga membentuk rumah, panah, atau bahkan kuburan. Ketika menemukan aku, si kaleng kosong berkarat ini, terlihat jelas wajah mereka seperti mendapatkan sekantong permen tak diduga dari orang entah siapa. Betapa girangnya mereka karena permen itu bukanlah sesuatu yang bisa mereka dapatkan saban hari. Terlebih lagi bukan sebiji dua yang mereka dapatkan, sekantong! Bayangkan sekantong! Kesenangan itu tentu sering menjadi angan-angan belaka bagi mereka anak kecil karena sang ibu yang tak izinkan untuk membeli, lalu bagaimana pula cara mereka merasakan nikmat manisnya bergoyang di lidah. Entah karena harganya yang mahal (sebab kemasannya yang mewah selayaknya aku dahulu. Kau tahu kan betapa mahalnya aku?), atau karena ditakut-takuti akan sakit gigi.

Tapi, jika kupikirkan lagi, pastilah karena uangnya habis untuk membeli susu formula adik. Jika habis, kalengnya mungkin dibuang seperti aku. Tergolek di tong sampah, diserang panas, hujan berkepanjangan kemudian berkarat tak berdaya. Dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang peduli kecuali dua hal: ditemukan pemulung atau berpindah tangan pada anak-anak yang amat ingin bermain karena sesal tak mendapat sekantong permen dari ibunya.

Apa yang terjadi kemudian?

Satu. Jika pemulung menemukanku maka aku akan masuk ke karung goni palstik yang baunya busuk seperti nasi basi yang sudah berjamur seminggu. Aku akan bercampur tertumpuk, berdesakan dengan puluhan kaleng dan botol lain. Entah darimana pemulung itu mendapatkan mereka. Lengkap sudah nasibku ini. Sudahlah tak bertutup, karatan, berkumpul pula dengan sekumpulan kaleng, botol yang baunya macam-macam lagi. Rasanya lebih baik di tong sampah. Meski ada sampah-sampah lain namun jelas akulah yang berbeda. Lain dari yang lain. Jadi, aku masih bisa berbangga diri seperti dulu toh? Meski tempatnya kini sudah jauh, sangat jauh berbeda.

Dua. Jika aku berada di tangan anak-anak itu maka mereka akan menjadikanku apa saja. mainan mereka, tapi bentuknya apa saja. Karena imaji dan fantasi anak-anak memang tak terbatas. Tak ada belengggu dan tak ada habisnya. Kadang orang dewasa sekalipun tak mampu menyamai bahkan berpikir serupa, berimaji sejalan. Terlalu banyak yang dipikirkan orang dewasa daripada sekadar berfantasi. Apa gerangan? Hidup mereka? Hidup ini tak usah dipikirkan, tapi dijalani! Tapi mana mau mereka mendengar, nasihat itu ibarat celoteh anak kecil pikirnya. Tak perlu diresapi. Angin lalu saja. Mereka merasa paling tahu tentang hidup padahal anak kecil sekalipun mampu memberikan pencerahan pada mereka. Terlebih-lebih cara untuk terbang, bebas dari belenggu, lepas berimajinasi. Tapi dasar orang dewasa. Seringnya merasa lebih pintar.

Anak-anak itu bisa menjadikanku apa saja. Kaleng untuk penggulung benang layang-layang mereka, mereka pukul-pukul saja dengan kayu sehingga berbunyi bising diiringi dengan nada nyanyian mereka. Asalkan mereka jangan nyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Kasihan, mereka masih kecil, biarkan saja tetap berada dalam dunianya yang penuh warna dan tawa. Tak perlu merasakan kesedihan, kepedihan orang-orang dewasa yang galau karena cinta.

Atau, mereka juga bisa mendirikanku di tengah jalan dan kemudian mereka tembakkan gundu mereka ke arahku sehingga aku berbunyi bising lagi. Tawa mereka pun pecah. Senang telah berhasil menembakku tepat sasaran. Layaknya koboi yang tengah duel dan berhasil menumbangkan lawannya. Senyum seringai menghiasi wajah mereka. Meski ada beberapa anak yang tak berhasil menembakku dengan tepat mereka akan tetap tertawa, tak berkecil hati, karena masih ada kesempatan, masih ada cara lain untuk benar-benar menembakku dengan tepat. Permainan inilah yang mereka tertawakan. Apapun hasilnya, mereka masih tergelak bersama, sambil menikmati sore yang perlahan senja. Menunggu akhirnya mereka dipanggil ibu pulang untuk mandi.

Lalu bagaimana dengan nasibku? Bisa jadi aku akan mereka biarkan berada di tengah jalan sampai ada orang dewasa yang mengenyahkanku kembali ke peraduanku: tong sampah. Hingga esok aku entah akan hilang di balik karung goni plastik sang pemulung atau malah kembali menjadi mainan bagi anak-anak itu.

Akan jadi apa aku besok? Itu masih misteri. Perjalanan masih panjang. Jangan cepat berkecil hati. Putus asa masih jauh. Kejutan masih menantiku esok. Dan begitupun kehidupan anak-anak itu. Orang-orang dewasa itu.

No comments:

Post a Comment