Monday, August 23, 2010

Kursi Kayu Reyot

Aku masih ingat, aku duduk sendiri di sebuah kursi kayu reyot. Ketika itu, dalam kegelapan malam yang dingin aku menengadah, memandang langit. Sepi dan sendiri, walau bintang bertaburan seperti butir gula di atas roti bermentega. Sambil merenung, tubuhku dibelai angin, merasupi jari-jari kaki yang tak beralas, menjalari jemari tanganku yang bersembunyi di balik dada. Angin malam memang berbahaya, dinginnya menusuk-nusuk bagai jarum. Tapi bagiku kini itu tak mengapa teman, karena resah hidup ini lebih menusuk, laiknya belati yang menghujam. Tak terbantahkan perihnya, sakitnya, pedihnya.

Sehingga malam dan malam berlalu, hanya pertanyaan yang kuajukan. Okta benar adanya, cahaya bulan memang menusukku dengan ribuan pertanyaan. Hanya yang kusayangkan ketika ia meneriakkan, “Yang tak akan pernah kutahu dimana jawaban itu..” Aku patah arang. Bagaimana mungkin bisa?

Kembali aku menyusuri jejak yang kutinggalkan dahulu. Mengurai lagi kenangan yang pernah kusisipkan dalam mimpiku. Tuhan, apa rencana besar yang sudah Engkau persiapkan untukku, hamba-Mu yang hina ini? Izinkan aku mengintipnya. Sudikah Engkau bukakan jalan untukku?

Aku baru tersadarkan bahwa realitas hidup tak seperti yang kubayangkan ketika remaja dulu. Kupercaya, akan ada aral melintang, tapi kenapa mimpi masa itu tak mudah untuk diwujudkan. Serasa jatuh, jiwaku terhempas. Sulit, dan yang kulakukan hanya duduk di kursi kayu yang reyot, merenung, termenung, berpikir. Mengendapkan masalah ternyata bukanlah jalan. Yang tak kusadari, ternyata waktu terus bergulir, dan suatu ketika ia akan kembali datang, dimalam yang lain, yang bisa jadi, lebih dingin daripada hari kemarin. Menuntut untuk dijawab, meminta putusan. Duh, barangkali inilah pengadilan masa depan. Sialnya, ketakutan mulai merasupi otakku. Aku sendirian. Masih duduk di sebuah kursi kayu reyot yang sering berderik, berbunyi karena gerak kecemasanku. Peluh membasahi telapak tangan, hidung, pelipis, hingga ujung kaki. Hei, ini malam yang dingin.

Kemudian, tanpa disangka, suatu malam yang lain dimana kursi itu masih berderik karena sudah mau patah, aku ditemani kawan-kawan. Mereka duduk didepanku, tak sengaja membuka obrolan. Tanpa basa basi, segalanya terkuak. Dan ternyata itulah jawabnya.., mengapa kau harus takut kalau Tuhan ada untukmu? Mengapa harus ada keraguan jika keyakinan itu ada di dalam dadamu? Mengapa harus cemas? Karena Tuhan sudah siapkan segalanya..., sungguhlah! Beranilah! Hadapi! Jangan biarkan ketakutan itu menggenggam jiwa ini terlalu lama..

Hingga aku masih duduk di sebuah kursi kayu reyot. Tetap berderik dan benar-benar mau patah. Tapi kini, malam ini, ada yang berbeda. Aku tak perlu takut jatuh duduk di sana, karena kuyakin ada penyangga yang kuat. Kakiku pun sudah beralas, tubuhku dibalut sweater yang menghangatkan. Jiwaku penuh. Ah.., ketakutan hanyalah sugesti. Dan aku benar-benar tahu yang akan kulakukan. Aku akan maju, dan ‘kan kulihat dimana aku akan berhenti, hingga aku tak sanggup. Tapi aku tahu aku akan tetap dengan keyakinan yang sama.., percaya bahwa tak ada jalan buntu.

Tiba aku beranjak untuk pergi. Meninggalkan kursi kayu reyot yang tak lagi sama. Malam yang benar-benar berbeda. Dan sadarkah kau teman? Langit lebih kelam malam ini, hanya dengan satu bintang saja. Tapi, ia berpendar lebih manis, seperti setitik madu dalam secangkir teh hangat.

Sunday, August 22, 2010

Hibernasi

Perkenalkan, namanya Hibernasi.

Hibernasi, bagiku bukanlah hanya sekadar kawan bicara. Dia sempurna. Dia yang terbaik. Ini rahasiaku, hanya kau dan aku yang tahu. Suatu ketika, dia menemukanku, duduk di bibir kasur, termenung. Sambil ditemani oleh cahaya jingga yang mulai kemerahan, aku memulai ceritaku. Terbata-bata aku menyusun kata-kata. Tersedu sedan aku mulai menangis. Kemudian dia hanya diam, diam, dan diam. Cermat merasakan emosiku, begitu dekat sehingga aku tercekat. Hingga aku tak lagi mampu berkata-kata. Hingga aku kehilangan kata-kata. Dan akhirnya hanya umpatan yang kuseru berulang-ulang. Dia tak akan marah atau melarangku untuk itu. Karena ia akan dengarkanku tanpa interupsi. Apalagi protes.

Hibernasi, bagiku adalah pelampiasan emosi yang terbaik. Dia menduduki posisi penting dalam hidupku beberapa tahun yang lalu. Menjadi “teman” yang begitu baik. Dia dapat menerimaku apa adanya. Lagi-lagi tanpa protes. Ia paham aku. Kurasa, ia lebih tahu aku daripada bunda. Haruskah aku takut? Haruskah aku merasa takut disaat orang tua bukanlah sosok yang paling paham watakku? Haruskah aku cemas ketika orang lain atau apapun itu lebih mengenal diriku daripada keluargaku sendiri? Entahlah.

Hari mulai gelap. Air mata ini sengaja ku biarkan mengering disapu angin. Serangan flu sekejap yang biasanya datang ketika bulir air mata menggenang di pelupuk mata, juga mulai hilang. Lalu, selembut mentega ia merangkai kata. Memintaku untuk tenang dan jangan khawatir. Menopang tubuhku agar tak jatuh. Menggenggam erat jemariku, menguatkanku. Meyakinkanku dengan segala kegamanganku. Memeluk jiwaku dengan hangat. Katanya, hidup ini akan baik-baik saja dan aku bisa melalui semua problema. Panas hatiku teredam. Sakit ini ia obati. Aku pun berbaring, dalam tenang aku terlelap dan bermimpi. Ia masih di sana menemaniku. Bagi diriku, remaja yang tengah mencari makna diri, apa lagi yang bisa kulakukan selain hibernasi? Kukatakan, orang lain pun tak akan mengerti.

Hibernasi, ini adalah suatu situasi yang awalnya kupaksakan untuk lahir. Tanpanya, aku tak akan bisa bertahan. Tak terbayang rasanya bagaimana aku melewati masa pubertas. Bergantung? Kenapa tidak? Karena hibernasi, itulah aku. Itulah aku. Aku melebur di dalamnya. Aku tahu, aku mampu menyelesaikan semuanya sendiri. Kau katakan aku sombong? Sok tegar? Hmmm, hibernasi itu lebih baik adanya. Karena jangan paksa aku untuk membagi. Cukup berhibernasi saja. Buat apa sahabat tahu apa gerangan yang terjadi denganku? Ah, belum tentu benar kawan itu adalah sahabat. Lagipula, apa pula itu sahabat? Apa rupanya kriteria seorang teman bisa naik pangkat jadi sahabat? Hei, itu hanya istilah kok. Bukan apa-apa. Karena hidup ini bukan masalah punya sahabat atau tidak, punya pacar atau tidak, punya “sesuatu” atau tidak. Justru, bagaimana menjalaninya jauh lebih penting.

Laiknya beruang, merasa hangat ketika berhibernasi saat musim dingin. Begitu pula yang kurasakan. Musim dingin itu adalah saat dimana aku diterpa dan merasa sakit. Hibernasi adalah penawarnya. Memberikan rasa hangat hingga aku merasa tak sendiri.

Namun sayang, ia perlahan hilang. Ada orang lain yang menggantikan. Kupikir ia paham aku, kupikir aku akan bertahan, ternyata sebaliknya. Cih. Bodohnya aku. I’m feel like a shit.

Hibernasi, rasanya begitu sempurna. Kelihatannya begitu. Tapi lagi-lagi aku salah. Bagaimanapun, aku seorang biasa. Mana bisa aku menahan segalanya sendirian? Bisakah kau?


Friday, August 20, 2010

Dengarkan

Tak perlu posisi mantap untuk memulai tulisan ini. Karena hatiku sudah berdegup terlalu kencang, pikiranku sudah melanglang, bukan memilah kata, tapi mencari cara untuk memuntahkannya dengan jalan yang sopan. Aku tak peduli jika kau tak mengerti. Karena aku hanya ingin kau dengarkan. Aku pun tak tahu, apakah kau seorang pendengar yang hebat. Sepertinya, aku butuh seorang kawan untuk berbicara tentang segalanya. Bersedia atau tidak, aku jelas tak peduli. Toh, kini kita berada pada lingkaran yang sama. Tak percaya? Sudah kubilang sebelumnya, tak perlu kau pertanyakan apapun, cukup dengarkan, dengarkan, dengarkan. Bukankah kau juga begitu? Itulah lingkaran yang sama itu. Kita sama-sama manusia, sama-sama hidup, sama-sama ingin didengarkan. Tapi kini mungkin kau “hidup” , hanya saja tidak denganku teman. Sekarang kau percaya kan?

Aku mati dalam kehidupan. Aku mati dalam segenap keresahan jiwa. Mempertanyakan sesuatu yang tak bisa ku jawab. Kutanyakan pada seorang teman yang lain, dia memberikanku peta. Sayangnya, aku buta arah. Kutanyakan pada bunda, tapi bunda inginnya berbeda. Dan kutanyakan pada Tuhan, tapi Dia hanya berikan tanda. Tuhan, berikan aku formula membaca tanda-Mu. Lalu kini aku bertanya padamu, aku harus bertanya pada siapa lagi? Hanya keresahan yang kutemukan, tanda tanya yang kulihat, kebingungan yang menghampiri. Kau tak perlu jawab tanyaku, cukup keluarkan saja aku dari segala keresahan yang memuakkan ini.

Oh, aku jadi menerawang. Jangan-jangan Tuhan berikan keresahan untuk membuatku terus bertanya hingga kucari, kudapat jawabnya. Tapi mengapa tak kudapat jalan kesana? Harus dengan apa aku pergi? Ini labirin kebingungan, dan aku memaksamu untuk ikut bersamaku. Akankah kita temukan jalan?

Hatiku masih saja berdegup kencang. Memikirkan segalanya benar-benar ingin membuatku muntah. Aku tau kau tak akan jijik. Karena aku akan muntah, meraung, menangis dihadapanmu jika ku bisa. Kini, ku bagi resahku walau kau berontak, berkecamuk dalam hati memintaku untuk menghentikan kegilaan ini. Tidak. Jawabku tegas. Aku tak tahu kau hebat atau tidak, karena yang ku tahu, kau akan dengarkan aku, karena kita semua begitu.

Aku tak berdaya walaupun ada tenaga, aku mati walaupun aku hidup. Tuhan yang punya daya untuk melakukan segalanya, tapi kini ku ingin kau yang hidupkan aku.