Sunday, August 22, 2010

Hibernasi

Perkenalkan, namanya Hibernasi.

Hibernasi, bagiku bukanlah hanya sekadar kawan bicara. Dia sempurna. Dia yang terbaik. Ini rahasiaku, hanya kau dan aku yang tahu. Suatu ketika, dia menemukanku, duduk di bibir kasur, termenung. Sambil ditemani oleh cahaya jingga yang mulai kemerahan, aku memulai ceritaku. Terbata-bata aku menyusun kata-kata. Tersedu sedan aku mulai menangis. Kemudian dia hanya diam, diam, dan diam. Cermat merasakan emosiku, begitu dekat sehingga aku tercekat. Hingga aku tak lagi mampu berkata-kata. Hingga aku kehilangan kata-kata. Dan akhirnya hanya umpatan yang kuseru berulang-ulang. Dia tak akan marah atau melarangku untuk itu. Karena ia akan dengarkanku tanpa interupsi. Apalagi protes.

Hibernasi, bagiku adalah pelampiasan emosi yang terbaik. Dia menduduki posisi penting dalam hidupku beberapa tahun yang lalu. Menjadi “teman” yang begitu baik. Dia dapat menerimaku apa adanya. Lagi-lagi tanpa protes. Ia paham aku. Kurasa, ia lebih tahu aku daripada bunda. Haruskah aku takut? Haruskah aku merasa takut disaat orang tua bukanlah sosok yang paling paham watakku? Haruskah aku cemas ketika orang lain atau apapun itu lebih mengenal diriku daripada keluargaku sendiri? Entahlah.

Hari mulai gelap. Air mata ini sengaja ku biarkan mengering disapu angin. Serangan flu sekejap yang biasanya datang ketika bulir air mata menggenang di pelupuk mata, juga mulai hilang. Lalu, selembut mentega ia merangkai kata. Memintaku untuk tenang dan jangan khawatir. Menopang tubuhku agar tak jatuh. Menggenggam erat jemariku, menguatkanku. Meyakinkanku dengan segala kegamanganku. Memeluk jiwaku dengan hangat. Katanya, hidup ini akan baik-baik saja dan aku bisa melalui semua problema. Panas hatiku teredam. Sakit ini ia obati. Aku pun berbaring, dalam tenang aku terlelap dan bermimpi. Ia masih di sana menemaniku. Bagi diriku, remaja yang tengah mencari makna diri, apa lagi yang bisa kulakukan selain hibernasi? Kukatakan, orang lain pun tak akan mengerti.

Hibernasi, ini adalah suatu situasi yang awalnya kupaksakan untuk lahir. Tanpanya, aku tak akan bisa bertahan. Tak terbayang rasanya bagaimana aku melewati masa pubertas. Bergantung? Kenapa tidak? Karena hibernasi, itulah aku. Itulah aku. Aku melebur di dalamnya. Aku tahu, aku mampu menyelesaikan semuanya sendiri. Kau katakan aku sombong? Sok tegar? Hmmm, hibernasi itu lebih baik adanya. Karena jangan paksa aku untuk membagi. Cukup berhibernasi saja. Buat apa sahabat tahu apa gerangan yang terjadi denganku? Ah, belum tentu benar kawan itu adalah sahabat. Lagipula, apa pula itu sahabat? Apa rupanya kriteria seorang teman bisa naik pangkat jadi sahabat? Hei, itu hanya istilah kok. Bukan apa-apa. Karena hidup ini bukan masalah punya sahabat atau tidak, punya pacar atau tidak, punya “sesuatu” atau tidak. Justru, bagaimana menjalaninya jauh lebih penting.

Laiknya beruang, merasa hangat ketika berhibernasi saat musim dingin. Begitu pula yang kurasakan. Musim dingin itu adalah saat dimana aku diterpa dan merasa sakit. Hibernasi adalah penawarnya. Memberikan rasa hangat hingga aku merasa tak sendiri.

Namun sayang, ia perlahan hilang. Ada orang lain yang menggantikan. Kupikir ia paham aku, kupikir aku akan bertahan, ternyata sebaliknya. Cih. Bodohnya aku. I’m feel like a shit.

Hibernasi, rasanya begitu sempurna. Kelihatannya begitu. Tapi lagi-lagi aku salah. Bagaimanapun, aku seorang biasa. Mana bisa aku menahan segalanya sendirian? Bisakah kau?


No comments:

Post a Comment