Aku masih ingat, aku duduk sendiri di sebuah kursi kayu reyot. Ketika itu, dalam kegelapan malam yang dingin aku menengadah, memandang langit. Sepi dan sendiri, walau bintang bertaburan seperti butir gula di atas roti bermentega. Sambil merenung, tubuhku dibelai angin, merasupi jari-jari kaki yang tak beralas, menjalari jemari tanganku yang bersembunyi di balik dada. Angin malam memang berbahaya, dinginnya menusuk-nusuk bagai jarum. Tapi bagiku kini itu tak mengapa teman, karena resah hidup ini lebih menusuk, laiknya belati yang menghujam. Tak terbantahkan perihnya, sakitnya, pedihnya.
Sehingga malam dan malam berlalu, hanya pertanyaan yang kuajukan. Okta benar adanya, cahaya bulan memang menusukku dengan ribuan pertanyaan. Hanya yang kusayangkan ketika ia meneriakkan, “Yang tak akan pernah kutahu dimana jawaban itu..” Aku patah arang. Bagaimana mungkin bisa?
Kembali aku menyusuri jejak yang kutinggalkan dahulu. Mengurai lagi kenangan yang pernah kusisipkan dalam mimpiku. Tuhan, apa rencana besar yang sudah Engkau persiapkan untukku, hamba-Mu yang hina ini? Izinkan aku mengintipnya. Sudikah Engkau bukakan jalan untukku?
Aku baru tersadarkan bahwa realitas hidup tak seperti yang kubayangkan ketika remaja dulu. Kupercaya, akan ada aral melintang, tapi kenapa mimpi masa itu tak mudah untuk diwujudkan. Serasa jatuh, jiwaku terhempas. Sulit, dan yang kulakukan hanya duduk di kursi kayu yang reyot, merenung, termenung, berpikir. Mengendapkan masalah ternyata bukanlah jalan. Yang tak kusadari, ternyata waktu terus bergulir, dan suatu ketika ia akan kembali datang, dimalam yang lain, yang bisa jadi, lebih dingin daripada hari kemarin. Menuntut untuk dijawab, meminta putusan. Duh, barangkali inilah pengadilan masa depan. Sialnya, ketakutan mulai merasupi otakku. Aku sendirian. Masih duduk di sebuah kursi kayu reyot yang sering berderik, berbunyi karena gerak kecemasanku. Peluh membasahi telapak tangan, hidung, pelipis, hingga ujung kaki. Hei, ini malam yang dingin.
Kemudian, tanpa disangka, suatu malam yang lain dimana kursi itu masih berderik karena sudah mau patah, aku ditemani kawan-kawan. Mereka duduk didepanku, tak sengaja membuka obrolan. Tanpa basa basi, segalanya terkuak. Dan ternyata itulah jawabnya.., mengapa kau harus takut kalau Tuhan ada untukmu? Mengapa harus ada keraguan jika keyakinan itu ada di dalam dadamu? Mengapa harus cemas? Karena Tuhan sudah siapkan segalanya..., sungguhlah! Beranilah! Hadapi! Jangan biarkan ketakutan itu menggenggam jiwa ini terlalu lama..
Hingga aku masih duduk di sebuah kursi kayu reyot. Tetap berderik dan benar-benar mau patah. Tapi kini, malam ini, ada yang berbeda. Aku tak perlu takut jatuh duduk di sana, karena kuyakin ada penyangga yang kuat. Kakiku pun sudah beralas, tubuhku dibalut sweater yang menghangatkan. Jiwaku penuh. Ah.., ketakutan hanyalah sugesti. Dan aku benar-benar tahu yang akan kulakukan. Aku akan maju, dan ‘kan kulihat dimana aku akan berhenti, hingga aku tak sanggup. Tapi aku tahu aku akan tetap dengan keyakinan yang sama.., percaya bahwa tak ada jalan buntu.
Tiba aku beranjak untuk pergi. Meninggalkan kursi kayu reyot yang tak lagi sama. Malam yang benar-benar berbeda. Dan sadarkah kau teman? Langit lebih kelam malam ini, hanya dengan satu bintang saja. Tapi, ia berpendar lebih manis, seperti setitik madu dalam secangkir teh hangat.
No comments:
Post a Comment