Wednesday, December 7, 2011
A Thought for Eternal Memory
Pernah tepikir oleh saya—bahkan sering—untuk menghapus bagian dari memori yang tidak saya suka, memori yang tidak ingin saya ingat seumur hidup, memori yang menjengkelkan, memori yang membuat saya merasa berdosa, memori yang memalukan, yang membuat saya galau. Tidak sengaja kembali pada memori yang enggan untuk diingat adalah hal yang menyesakkan, membuat diri berada pada titik not in the mood all day. Itu bisa terjadi, indeed. Dan suatu ketika saya tiba-tiba terpikir, “Andai saja ada sesuatu yang bisa menghapus memori tertentu yang tidak lagi saya inginkan”. Jika ada, saya tentu harus membuat daftar panjang mengenai hal itu. Selama sekian tahun hidup, dan entah berapa tahun yang benar-benar saya ingat, banyak hal yang justru tidak ingin saya ingat sama sekali. I wanna make it fuckin’ go away. Dan ketika rasa itu muncul saya benci sekali diri saya. Sekejap saja muncul beragam pertanyaan, “Why am I doing that? What exactly on my head at that time? Why it did happen? How could that be?” dan seterusnya, dan seterusnya, hingga saya kemudian lelah menyalahkan diri saya sendiri atas suatu peristiwa yang kemudian menjadi memori yang sungguh tidak mengenakkan. Seolah, saat memori itu terhapus, saya dapat merasa jauh lebih baik, merasa menjadi orang yang lebih baik. Atau bahkan saya yakin hidup saya akan jauh lebih baik tanpa memori buruk itu. Kenapa? Jelas, karena dalam otak saya, saya hanya punya memori yang indah, lucu, menyenangkan, menggembirakan, membahagiakan, semarak, dan baik saja. Saya tentu tidak perlu merasa ada yang salah dengan diri saya, atau merasa not in the mood begitu saja karena tak harus mengingat setiap detail memori tolol, bodoh, unlike, akan diri saya, atas apa yang telah saya lakukan. Bukankah itu suatu kenikmatan? Tidak perlu merasa bersalah karena pernah menyakiti orang lain? Dan tidak perlu merasa berdosa karena telah melakukan sesuatu yang salah? Tidak perlu merasa marah, kecewa, dan sakit karena disakiti orang lain?
Tapi pepatah bijak berkata, “bagaimana mungkin seseorang tahu rasanya kebahagiaan jika ia tak pernah merasa sakit”. Atau film Ally McBeal pernah bilang begini dalam salah satu seriesnya, “Jika dalam satu tahun tidak ada hal yang bisa kau tangisi atau membuatmu tertawa maka tahunmu itu sia-sia belaka”. Ya, kira-kira begitu intinya.
Sepertinya perspektif saya berubah—about erasing memory, lebih-lebih ketika menonton film “Eternal Sunshine Spotless Mind” yang dibintangi Jim Carrey (Joel Barrish) dan Kate Winslet (Clementine). Semua yang saya inginkan, sebagaimana yang saya paparkan di atas terwujud dalam film ini. Seorang dokter dapat menghapus memori yang diinginkan. Mereka (Jim & Kate) yang berperan sebagai pasangan, mengalami saat-saat yang buruk dalam menjalani hubungannya sehingga Clementine pun mengambil langkah ekstrem: menghapus Joel dari memorinya. Begitu pula sebaliknya. Namun dalam perjalanan untuk menghapus memorinya, Joel, “tersadarkan”. Ketika menjelajah memorinya, berada dalam otaknya, ia justru menyadari bahwa ia sama sekali tak ingin menghapus apa pun yang pernah dimilikinya bersama Clementine. Saat yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan itu, ia tetap ingin menyimpannya sebagai kenangan. Ia masih ingin mengingatnya. Ia ingin membiarkan memorinya hidup di dalam dirinya, karena Clementine pernah menjadi bagian dari dirinya. Bagaimana mungkin seseorang dapat menghapus apa yang pernah ada di dalam dirinya? Melepas hal itu pergi tanpa jejak? Meskipun Clementine telah lebih dulu menghapus dirinya, tapi ia sungguh tak ingin semua itu terjadi, penghapusan memori. Oh.
Nelangsa memang ketika tak sengaja mengenang—atau mungkin sengaja—hal–hal yang sebenarnya saya sesali. Saya tak ingin hal itu terjadi, tapi itu sudah terjadi, terpancang kuat dalam otak dan tersimpan rapi dalam memori, long term memory saya sehingga kenangan sudah, saat saya mengingatnya kembali. Tapi barangkali, sebelum keinginan saya terwujud untuk menghapus memori tertentu, seperti yang ada di dalam film itu, ada baiknya saya memikirkan kembali, sebab bukankah dari kenangan saya benar-benar merasa hidup, merasakan ada kehidupan yang pahit. Bukankah dengan kenangan saya bisa belajar tentang segala sesuatu? Walaupun kenangan yang tak mengenakkan, kenapa harus dibuang? Dipertahankan karena dia juga berarti kan? Dia bagian dari diri saya. Diri saya yang pernah terlupa, alpa, berdosa, bersalah, menyakiti, tersakiti, dan seterusnya.
Sepertinya terkenang sesuatu bukanlah sesuatu yang buruk. Not at all. Isn’t it? Dan ya, memori itu luar biasa, membuat peristiwa tertentu menjadi abadi, walau hanya dalam pikiran saya saja. Setidaknya jika merasakan hal itu lagi, saya ingin memaafkan diri saya sendiri, berdamai dengan kenangan itu, menjadi reminder that I wasn’t pure. I’m not that great. Ya, siapa tahu, dengan begitu saya bisa jadi orang yang rendah hati. Nggak sok-sok-an, merasa paling hebat. Dan siapa tahu (lagi) saya bisa jadi orang yang lebih baik, bukan karena saya telah berhasil menghapus memori itu, tetapi karena saya bisa menghargai apa yang telah dilakukan oleh memori itu: membuat masa lalu menjadi kekal dalam pikiran saya. Karena film itu juga saya percaya kalau memori itu, kenangan itu, amat berharga.
For eternal memory, eternal past. Cheers.
Monday, August 8, 2011
Hibernasi: Bagian 2
Ternyata hibernasi tidak selalu menyenangkan. Menyimpan segala sesuatunya tertata rapi dalam hati, rapat tanpa celah, tapi jadinya malah terengah-engah saat menjaga segalanya, dadaku jadi sering naik turun, nafasku tersengal padahal aku tak berlari kencang. Seringnya aku jadi tercekat, seperti terpojok. Inginnya menghela dengan bebas, tanpa belenggu. Jadi, jelaslah sudah, menjaga sebuah komitmen hibernasi tak mudah. Seolah terasa lebih nyaman dan sempurna, namun sungguh tidak sepenuhnya begitu. Ketika sesak itu menyerang tak ada yang bisa kulakukan selain mengais-ais udara. Padahal aku sudah tahu pasti, udara tak mungkin dapat kugapai. Tapi ketika udara itu kuhela sekuat-kuatnya, dan kulakukan berulang-ulang maka aku telah mengkhianati makna dan komitmen hibernasi. Sungguh, tak ada yang lebih hina daripada menjadi pengkhianat. Terlebih bagi diri sendiri.
Aku bisa saja memaksa diri keluar dari lingkaran hibernasi dan menjadi pengkhianat sejati, hanya saja aku belum tentu mampu untuk bangkit kembali ketika suatu saat aku jatuh seperti dulu. Mana mungkin mengemis pada hibernasi sementara aku telah jelas berpaling. Mencoreng makna yang kurancang sendiri. Dan saat aku bercermin, masih bisakah aku menatap wajahku sendiri?
Meski tidak selalu menyenangkan, hibernasi kini tak bisa ditawar. Tak ada kompromi untuk sebuah kenyamanan yang semu. Lebih baik sesak nafas saja. Biarkan segalanya begitu adanya hingga menit-menit akhir yang menentukan. Biarkan hibernasi melepaskan belenggunya sendiri, bebas sendiri tanpa harus daku berpaling.
Aku bisa saja memaksa diri keluar dari lingkaran hibernasi dan menjadi pengkhianat sejati, hanya saja aku belum tentu mampu untuk bangkit kembali ketika suatu saat aku jatuh seperti dulu. Mana mungkin mengemis pada hibernasi sementara aku telah jelas berpaling. Mencoreng makna yang kurancang sendiri. Dan saat aku bercermin, masih bisakah aku menatap wajahku sendiri?
Meski tidak selalu menyenangkan, hibernasi kini tak bisa ditawar. Tak ada kompromi untuk sebuah kenyamanan yang semu. Lebih baik sesak nafas saja. Biarkan segalanya begitu adanya hingga menit-menit akhir yang menentukan. Biarkan hibernasi melepaskan belenggunya sendiri, bebas sendiri tanpa harus daku berpaling.
Sunday, May 29, 2011
My rating: 4 of 5 stars
Di akhir kisah, rasa kecewa sedikit muncul ketika mengetahui bahwa segalanya hanya mimpi. Karena alangkah eloknya jika semua hal yang Alice alami di Negeri Ajaib itu adalah nyata adanya. Alice hanya tertidur di pangkuan sang kakak, namun mimpinya tampak begitu nyata. Petualangannya di Negeri Ajaib, bertemu dengan Kelinci Putih, Sang Duchess, Ulat Bulu, Kelinci-BulanMaret, Si Pembuat Topi, Tikus-Asrama, Si Kucing Chesire serta Sang Raja dan Ratu yang sangat tempramen dan teramat sering—atau malah senang—berujar: “Penggal kepalanya!” jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.
Selintas pikiran saya terbang dan mengingat berbagai adegan Alice yang tersesat di Negeri Ajaib dalam film animasi yang di-release, sekitar tahun lalu—kalau tidak salah—dengan judul yang sama. Saya membayangkan Johnny Depp yang memerankan Si Pembuat Topi duduk minum teh dengan Alice, lengkap dengan Kelinci-Bulan Maret dan Tikus Asrama, bertengkar tentang hal yang tampak remeh temeh; mulai dari rambut Alice, teka-teki, remah roti dan mentega, hingga cerita sumur sirup-gula si Tikus Asrama.
Oh, segalanya tampak aneh, namun lucu sekaligus membingungkan. Ini kan Negeri Ajaib. Kenapa harus berpikir bahwa segala peristiwa akan menjadi masuk akal, bahkan dengan berbagai percakapan yang terjadi di dalamnya? Banyak hal-hal yang sangat tidak mungkin atau malah jadi agak konyol. Tapi, apakah ada yang benar-benar konyol atau malah impossible di sebuah dunia yang disebut “Wonderland” ini? Saya pikir tidak begitu.
Meski hanya mimpi, tapi mimpi Alice adalah mimpi yang indah sekaligus aneh. Indah karena dia berpetualang ke suatu negeri entah dimana yang selalu memberikan kejutan lucu dan menyenangkan. Aneh karena Alice bertemu dengan berbagai makhluk yang tak terbayangkan akan ada di dunia nyata, dengan percakapan yang serba membingungkan.
Saya suka kisah Alice. Ia adalah anak perempuan yang punya rasa ingin tahu yang besar, polos dan lugu, tapi sangat suka menyela pembicaraan, ceplas-ceplos, namun juga jujur. Saya suka dengan keberanian yang dimilikinya untuk berpetualang. Rasa penasaran mendorongnya untuk meneruskan petualangannya, tak peduli banyak hal aneh atau unik, tak peduli apakah tubuhnya akan membesar atau malah mengecil. Saya jadi percaya, jika petualangannya bukan mimpi sekalipun, pasti ia akan tetap melakukan hal yang sama: mengejar si Kelinci Putih dan masuk ke lubangnya.
Barangkali Negeri Ajaib malah tak ada bedanya dengan dunia nyata Alice. Kenyataan bisa jadi sangat membosankan, tapi dalam hidup selalu ada kejutan, keanehan, dan kebingungan. Hanya saja bisa menyenangkan, bisa tidak. Hehehe ;p.
Saya suka penutup cerita ini:
“Terakhir, dia membayangkan bagaimana adiknya nanti, lambat laun, akan tumbuh menjadi wanita dewasa; dan melalui masa-masa dewasa itu, bagaimana ia akan menjaga sifatnya di masa kanak-kanak yang sederhana dan penuh kasih; bagaimana nanti ia akan mengumpulkan anak-anaknya serta membuat mata mereka melebar dan penasaran dengan dongeng-dongeng ajaib, bahkan mungkin dengan mimpinya ke Negeri Ajaib yang sudah bertahun-tahun lewat; dan apa yang akan dia rasakan jika segala kesedihan menimpa anak-anaknya sekaligus menemukan kebahagiaan pada hal-hal yang sederhana, seraya teringat pada masa kecilnya sendiri dan musim panas yang menyenangkan.” (h. 175).
View all my reviews
Wednesday, May 18, 2011
L O S T
Tak terasakah kau bahwa kita hidup dalam sebuah dunia yang asing. Coba lihat sekitarmu. Siapa rupanya yang benar-benar kau kenal? Kau bisa saja merasa mengenal mereka, tapi tidak adanya. Kau tahu nama mereka, kau ingat wajah mereka, senyum, gelak tawa, tangis sedih, dan segala sifat-sifat temanmu atau seseorang yang kau nyatakan sebagai sahabat. Kau hapal mereka luar dalam. Kau tahu bagaimana tabiatnya. Tapi, benarkah itu semua? Jika ya, kenapa segalanya berubah? Mendadak kau merasa segalanya berubah. Teman-temanmu, lingkunganmu, duniamu, bahkan dirimu sendiri. Kemudian tanpa sadar kau menjadi terasing dalam kehidupanmu. Merasa sepi di balik hingar bingar orang-orang yang dulu kau sebut teman.
Bahkan dirimu kini bukan dirimu lagi. Dirimu telah berubah menjadi sesosok yang sama sekali tak kau kenali. Jika dahulu engkau adalah seorang yang penuh semangat maka saat ini dirimu yang kau tatap di depan cermin adalah seorang yang telah lelah mentalnya. Melihat lebih jauh ke belakang, kau dahulu adalah seorang yang ceria gembira, namun kini semuanya yang tersisa hanyalah kemurungan dan kegalauan. Kini kau terjebak dalam labirin kebingungan tanpa tahu jalan keluar. Tak ada yang bisa kau andalkan selain dirimu sendiri. Maka teruslah tapaki lorong-lorong itu meski hanya gelap yang ada. Ternyata, kehilangan diri sendiri di dalam diri adalah sesuatu hal yang menyakitkan. Karena bukan tak mungkin kau malah membenci dirimu sendiri dan menyalahkannya atas segala kekalahan yang kau perbuat. Semuanya terasa begitu cepat dan tiba-tiba, padahal ternyata perubahan itu telah berproses menggerogoti dari dalam dirimu sendiri. Masihkah kau merasa mengenal teman-temanmu? Atau bahkan dirimu?
Aku pikir dunia sekarang telah menjadi benar-benar asing. Penuh dengan seliweran orang-orang asing. Dan ini aku, hidup dalam dunia yang asing, berinteraksi dengan mereka yang tak kukenal. Oh, apakah aku kan terus hidup dalam keterasingan ini? Atau sebenarnya aku telah mati tanpa aku sadari?
Bahkan dirimu kini bukan dirimu lagi. Dirimu telah berubah menjadi sesosok yang sama sekali tak kau kenali. Jika dahulu engkau adalah seorang yang penuh semangat maka saat ini dirimu yang kau tatap di depan cermin adalah seorang yang telah lelah mentalnya. Melihat lebih jauh ke belakang, kau dahulu adalah seorang yang ceria gembira, namun kini semuanya yang tersisa hanyalah kemurungan dan kegalauan. Kini kau terjebak dalam labirin kebingungan tanpa tahu jalan keluar. Tak ada yang bisa kau andalkan selain dirimu sendiri. Maka teruslah tapaki lorong-lorong itu meski hanya gelap yang ada. Ternyata, kehilangan diri sendiri di dalam diri adalah sesuatu hal yang menyakitkan. Karena bukan tak mungkin kau malah membenci dirimu sendiri dan menyalahkannya atas segala kekalahan yang kau perbuat. Semuanya terasa begitu cepat dan tiba-tiba, padahal ternyata perubahan itu telah berproses menggerogoti dari dalam dirimu sendiri. Masihkah kau merasa mengenal teman-temanmu? Atau bahkan dirimu?
Aku pikir dunia sekarang telah menjadi benar-benar asing. Penuh dengan seliweran orang-orang asing. Dan ini aku, hidup dalam dunia yang asing, berinteraksi dengan mereka yang tak kukenal. Oh, apakah aku kan terus hidup dalam keterasingan ini? Atau sebenarnya aku telah mati tanpa aku sadari?
Tuesday, April 19, 2011
the colors
Selasa, 19 April 2011 09.21 p.m.
Bulan oranye menggantung di langit malam yang ungu
Ku tahu kau tak ada
Biar sendu menemaniku
Dengan suara yang bercakap-cakap
Dengan petik senar gitar yang bersenandung sumbang
Bulan oranye menggantung di langit malam yang ungu
Ku tahu kau tak ada
Biar sendu menemaniku
Dengan suara yang bercakap-cakap
Dengan petik senar gitar yang bersenandung sumbang
Tuesday, April 5, 2011
Sebuah Percakapan yang Biru
“Oi, kamu tahu nggak?”
“Apa?”
“Warna biru itu menyiratkan kesedihan.”
“Oya?”
“Banyak lagu yang akhir-akhir ini aku dengar ada kata itu.”
“Biru?”
“Blue lebih tepatnya. Hmm, ya, ‘Fallin’-nya Alicia Keys, ‘You Belong to Me’ versi Vonda Shepard, ‘Someone You Use’ dengan penyanyi yang sama, dan ya.., banyak lagi mungkin yang aku nggak tau. Intinya, feel blue. Ya, something like that.”
“Kalau memang begitu, kenapa Tuhan menciptakan dunia dengan dominasi warna biru? Langit, laut... Memangnya Tuhan pengen kesedihan di dunia?”
“Makna itu manusia yang buat kali. Seperti aku mengartikan kalau biru itu artinya sedih. Biru itu ada maknanya karena aku yang memberinya makna. Buat orang lain bisa saja kan artinya jadi beda. Terus, kalau aku tadi bilang biru itu artinya ketenangan, apa kamu juga menyimpulkan kalau Tuhan itu pengen ketenangan di dunia ini? Jangan hakimi Tuhan begitu saja. Apa-apa menyalahkan Tuhan, bilang Tuhan nggak adil.”
“Ya, kamu jadi marah deh. Sori.”
“Aku nggak marah. Aku cuma menegaskan saja, dan kenapa harus minta maaf sama aku? Minta maaf sama Tuhan dong, kan kamu yang menyalahkan Tuhan.”
Mereka terdiam lama.
“Hmm, novelnya Fira Basuki juga ada yang judulnya ‘Biru’.”
“Sori, aku nggak baca Fira Basuki.”
“Ya elah. Kamu nggak perlu baca Fira Basuki buat tau judul novelnya.”
“Jadi, kamu nggak baca novelnya?”
“Aku baca.”
“Jadi?”
“Ya, ceritanya nurut aku segala sesuatu yang sedih. Selingkuh, cerai, pengkhianatan, kebohongan, kehilangan. Ya, something like that. Something blue. Aku pikir begitu.”
Hening.
“Kamu nyadar nggak, beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai. Merasakan kalau angin bisa buang sedih itu pergi, atau pasir kemudian membenamkannya dalam-dalam, lalu membiarkannya hanyut ditelan laut.”
“Jadi, sekarang kamu lagi sedih?”
“Apa aku tampak sedih?”
“Ya, aku nggak tahu. Buktinya, kita sekarang di pantai.”
“Aku kan bilang tadi orang. Beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai.”
“Memangnya kamu bukan orang?”
“Aku cuma mitos.”
“Heh?”
“Mitos buat kamu.”
Angin berdesir pelan.
“Apa?”
“Warna biru itu menyiratkan kesedihan.”
“Oya?”
“Banyak lagu yang akhir-akhir ini aku dengar ada kata itu.”
“Biru?”
“Blue lebih tepatnya. Hmm, ya, ‘Fallin’-nya Alicia Keys, ‘You Belong to Me’ versi Vonda Shepard, ‘Someone You Use’ dengan penyanyi yang sama, dan ya.., banyak lagi mungkin yang aku nggak tau. Intinya, feel blue. Ya, something like that.”
“Kalau memang begitu, kenapa Tuhan menciptakan dunia dengan dominasi warna biru? Langit, laut... Memangnya Tuhan pengen kesedihan di dunia?”
“Makna itu manusia yang buat kali. Seperti aku mengartikan kalau biru itu artinya sedih. Biru itu ada maknanya karena aku yang memberinya makna. Buat orang lain bisa saja kan artinya jadi beda. Terus, kalau aku tadi bilang biru itu artinya ketenangan, apa kamu juga menyimpulkan kalau Tuhan itu pengen ketenangan di dunia ini? Jangan hakimi Tuhan begitu saja. Apa-apa menyalahkan Tuhan, bilang Tuhan nggak adil.”
“Ya, kamu jadi marah deh. Sori.”
“Aku nggak marah. Aku cuma menegaskan saja, dan kenapa harus minta maaf sama aku? Minta maaf sama Tuhan dong, kan kamu yang menyalahkan Tuhan.”
Mereka terdiam lama.
“Hmm, novelnya Fira Basuki juga ada yang judulnya ‘Biru’.”
“Sori, aku nggak baca Fira Basuki.”
“Ya elah. Kamu nggak perlu baca Fira Basuki buat tau judul novelnya.”
“Jadi, kamu nggak baca novelnya?”
“Aku baca.”
“Jadi?”
“Ya, ceritanya nurut aku segala sesuatu yang sedih. Selingkuh, cerai, pengkhianatan, kebohongan, kehilangan. Ya, something like that. Something blue. Aku pikir begitu.”
Hening.
“Kamu nyadar nggak, beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai. Merasakan kalau angin bisa buang sedih itu pergi, atau pasir kemudian membenamkannya dalam-dalam, lalu membiarkannya hanyut ditelan laut.”
“Jadi, sekarang kamu lagi sedih?”
“Apa aku tampak sedih?”
“Ya, aku nggak tahu. Buktinya, kita sekarang di pantai.”
“Aku kan bilang tadi orang. Beberapa orang kalau sedang sedih inginnya ke pantai.”
“Memangnya kamu bukan orang?”
“Aku cuma mitos.”
“Heh?”
“Mitos buat kamu.”
Angin berdesir pelan.
Saturday, April 2, 2011
Meracau
Dunia kini tak lagi sama. Keadaan sudah jauh berubah dari apa yang kumau. Karena sekarang segala pelarian telah menjadi sia-sia belaka. Kemana pun pergi hanya sama yang kutemui. Meski jalan berputar pada akhirnya segala titik kehidupan akan kembali pada hal yang sama: kehampaan. Sebelum mencapai itu, akan ada kegundahan yang mengiringi, kegalauan menerpa tanpa ampun, kelumpuhan diri, sampai pada akhirnya kehampaan yang tersisa. Hampa sehampa-hampanya. Namun tetaplah keputusasaan bukan menjadi keinginan. Tak peduli hampanya diri ini, tak akan kubiarkan jalan ini menuju pada keputusasaan itu.
Semuanya sudah kurasakan sekarang. Inilah klimaks dimana aku merasa segala hal, seluruhnya bukanlah tempat untuk mencari jawaban atas segala kehampaan ini. Aku tak bisa lagi meyakini akan ada jawaban di sana. Percuma lagi yang kutemukan jika satu pertanyaan kuajukan hanya akan kembali pada pertanyaan lain. Kalau memang akhirnya akan berada dalam kesendirian, ya sudah, sendiri saja. Aku tak ingin orang mengasihani diriku sendiri yang sedang bergerumul dalam kehampaan yang tiada terkira. Biarkan saja, hati ini meresapi penuh segala kesendirian itu. Toh, keramaian bukan lagi tempat yang menyenangkan. Atau, memang tidak pernah jadi hal yang menyenangkan?
Dimana lagi pelarian itu. Segalanya lagi percuma. Dan kini, keresahan menanti di depan muka. Bergulat aku dengan segala ketidaknyamanan itu. Mencari-cari, lagi mencari alternatif untuk melampiaskan emosi. Jika tak berhasil juga, inilah jurus pamungkasku: hibernasi. Lebih baik rasanya bergulat dengan hibernasi daripada membiarkan diri larut dalam kehampaan. Cukup sudah, tak perlu lagi. Biarkan aku yang hadapi sendiri. Ah, kalaupun nanti aku ingin menangis, aku akan menangis dalam kesendirian. Aku tak ingin ada yang menemani. Cukup aku saja. Dan Tuhan juga. Hibernasi sudah menjadi tumpuan. Saat ini, aku tenggelam dalam tangisanku sendiri. Oh, duniaku seorang.
Semuanya sudah kurasakan sekarang. Inilah klimaks dimana aku merasa segala hal, seluruhnya bukanlah tempat untuk mencari jawaban atas segala kehampaan ini. Aku tak bisa lagi meyakini akan ada jawaban di sana. Percuma lagi yang kutemukan jika satu pertanyaan kuajukan hanya akan kembali pada pertanyaan lain. Kalau memang akhirnya akan berada dalam kesendirian, ya sudah, sendiri saja. Aku tak ingin orang mengasihani diriku sendiri yang sedang bergerumul dalam kehampaan yang tiada terkira. Biarkan saja, hati ini meresapi penuh segala kesendirian itu. Toh, keramaian bukan lagi tempat yang menyenangkan. Atau, memang tidak pernah jadi hal yang menyenangkan?
Dimana lagi pelarian itu. Segalanya lagi percuma. Dan kini, keresahan menanti di depan muka. Bergulat aku dengan segala ketidaknyamanan itu. Mencari-cari, lagi mencari alternatif untuk melampiaskan emosi. Jika tak berhasil juga, inilah jurus pamungkasku: hibernasi. Lebih baik rasanya bergulat dengan hibernasi daripada membiarkan diri larut dalam kehampaan. Cukup sudah, tak perlu lagi. Biarkan aku yang hadapi sendiri. Ah, kalaupun nanti aku ingin menangis, aku akan menangis dalam kesendirian. Aku tak ingin ada yang menemani. Cukup aku saja. Dan Tuhan juga. Hibernasi sudah menjadi tumpuan. Saat ini, aku tenggelam dalam tangisanku sendiri. Oh, duniaku seorang.
Saturday, March 19, 2011
Si Kaleng
17 Maret 2011 04.02 p.m.
Aku kosong. Akulah kaleng susu bekas yang berkarat tergolek di tong sampah. Aku yang masih terdiam kaku ini kemudian dengan indahnya melayang, masuk ke dalam ruang kosong dalam diriku sendiri. Takut-takut aku pelan mengintip dari balik bibir kaleng yang terbuka. Tutupku entah kemana perginya. Barangkali hilang terbang saat aku dibuang oleh seorang ibu muda yang tadinya membeliku. Kau dapat bayangkan ketika aku berada di rak sebuah swalayan itu. Aku dengan cantik dan mengkilap berkilau berjejer dengan kaleng susu yang lain—ada yang serupa, ada yang tidak—begitu gagah di balik kaca itu. Ya, kau tahu kan tempatku berbeda dari produk lainnya yang memenuhi rak-rak rapi di swalayan itu. Kalau kau perhatikan, aku ini biasanya diletakkan dekat dengan tempat kasir. Jelas saja, tak semua tangan dapat menyentuhku, apalagi memasukkan aku dalam salah satu keranjang belanjanya. Tentu saja hanya tangan-tangan terpilihlah yang mendapatkan aku. Walaupun aku bukan yang satu-satunya berada di rak-rak itu, setidaknya aku patut berbangga diri.
Namun kini aku kosong. Habis sudah masa jayaku. Zaman keemasanku. Bayi mungil itu begitu lahap dan dengan cepat menghabiskan bubuk susu yang kukandung sehingga aku terbuang kini. Inilah nasibku si kaleng tua. Meskipun begitu, paling tidak aku masih bisa melayangkan pikiranku ke dalam diriku sendiri. Tak peduli jika hanya kosong yang kulihat. Karat yang tampak di sekeliling dindingku. Malah kini aku tanpa tutup. Jika hujan maka air hujan memenuhiku. Jika panas mendera kau tahu rasanya. Air hujan yang tertampung itu perlahan meluap dan hanya menyisakan karat padaku.
Oh, aku berpikir... dan melayang..
Bagaimana jika aku tanpa sengaja ditemukan sekelompok anak kecil yang tengah bermain karet gelang, dililit-lilitkan di jari-jari mereka hingga membentuk rumah, panah, atau bahkan kuburan. Ketika menemukan aku, si kaleng kosong berkarat ini, terlihat jelas wajah mereka seperti mendapatkan sekantong permen tak diduga dari orang entah siapa. Betapa girangnya mereka karena permen itu bukanlah sesuatu yang bisa mereka dapatkan saban hari. Terlebih lagi bukan sebiji dua yang mereka dapatkan, sekantong! Bayangkan sekantong! Kesenangan itu tentu sering menjadi angan-angan belaka bagi mereka anak kecil karena sang ibu yang tak izinkan untuk membeli, lalu bagaimana pula cara mereka merasakan nikmat manisnya bergoyang di lidah. Entah karena harganya yang mahal (sebab kemasannya yang mewah selayaknya aku dahulu. Kau tahu kan betapa mahalnya aku?), atau karena ditakut-takuti akan sakit gigi.
Tapi, jika kupikirkan lagi, pastilah karena uangnya habis untuk membeli susu formula adik. Jika habis, kalengnya mungkin dibuang seperti aku. Tergolek di tong sampah, diserang panas, hujan berkepanjangan kemudian berkarat tak berdaya. Dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang peduli kecuali dua hal: ditemukan pemulung atau berpindah tangan pada anak-anak yang amat ingin bermain karena sesal tak mendapat sekantong permen dari ibunya.
Apa yang terjadi kemudian?
Satu. Jika pemulung menemukanku maka aku akan masuk ke karung goni palstik yang baunya busuk seperti nasi basi yang sudah berjamur seminggu. Aku akan bercampur tertumpuk, berdesakan dengan puluhan kaleng dan botol lain. Entah darimana pemulung itu mendapatkan mereka. Lengkap sudah nasibku ini. Sudahlah tak bertutup, karatan, berkumpul pula dengan sekumpulan kaleng, botol yang baunya macam-macam lagi. Rasanya lebih baik di tong sampah. Meski ada sampah-sampah lain namun jelas akulah yang berbeda. Lain dari yang lain. Jadi, aku masih bisa berbangga diri seperti dulu toh? Meski tempatnya kini sudah jauh, sangat jauh berbeda.
Dua. Jika aku berada di tangan anak-anak itu maka mereka akan menjadikanku apa saja. mainan mereka, tapi bentuknya apa saja. Karena imaji dan fantasi anak-anak memang tak terbatas. Tak ada belengggu dan tak ada habisnya. Kadang orang dewasa sekalipun tak mampu menyamai bahkan berpikir serupa, berimaji sejalan. Terlalu banyak yang dipikirkan orang dewasa daripada sekadar berfantasi. Apa gerangan? Hidup mereka? Hidup ini tak usah dipikirkan, tapi dijalani! Tapi mana mau mereka mendengar, nasihat itu ibarat celoteh anak kecil pikirnya. Tak perlu diresapi. Angin lalu saja. Mereka merasa paling tahu tentang hidup padahal anak kecil sekalipun mampu memberikan pencerahan pada mereka. Terlebih-lebih cara untuk terbang, bebas dari belenggu, lepas berimajinasi. Tapi dasar orang dewasa. Seringnya merasa lebih pintar.
Anak-anak itu bisa menjadikanku apa saja. Kaleng untuk penggulung benang layang-layang mereka, mereka pukul-pukul saja dengan kayu sehingga berbunyi bising diiringi dengan nada nyanyian mereka. Asalkan mereka jangan nyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Kasihan, mereka masih kecil, biarkan saja tetap berada dalam dunianya yang penuh warna dan tawa. Tak perlu merasakan kesedihan, kepedihan orang-orang dewasa yang galau karena cinta.
Atau, mereka juga bisa mendirikanku di tengah jalan dan kemudian mereka tembakkan gundu mereka ke arahku sehingga aku berbunyi bising lagi. Tawa mereka pun pecah. Senang telah berhasil menembakku tepat sasaran. Layaknya koboi yang tengah duel dan berhasil menumbangkan lawannya. Senyum seringai menghiasi wajah mereka. Meski ada beberapa anak yang tak berhasil menembakku dengan tepat mereka akan tetap tertawa, tak berkecil hati, karena masih ada kesempatan, masih ada cara lain untuk benar-benar menembakku dengan tepat. Permainan inilah yang mereka tertawakan. Apapun hasilnya, mereka masih tergelak bersama, sambil menikmati sore yang perlahan senja. Menunggu akhirnya mereka dipanggil ibu pulang untuk mandi.
Lalu bagaimana dengan nasibku? Bisa jadi aku akan mereka biarkan berada di tengah jalan sampai ada orang dewasa yang mengenyahkanku kembali ke peraduanku: tong sampah. Hingga esok aku entah akan hilang di balik karung goni plastik sang pemulung atau malah kembali menjadi mainan bagi anak-anak itu.
Akan jadi apa aku besok? Itu masih misteri. Perjalanan masih panjang. Jangan cepat berkecil hati. Putus asa masih jauh. Kejutan masih menantiku esok. Dan begitupun kehidupan anak-anak itu. Orang-orang dewasa itu.
Aku kosong. Akulah kaleng susu bekas yang berkarat tergolek di tong sampah. Aku yang masih terdiam kaku ini kemudian dengan indahnya melayang, masuk ke dalam ruang kosong dalam diriku sendiri. Takut-takut aku pelan mengintip dari balik bibir kaleng yang terbuka. Tutupku entah kemana perginya. Barangkali hilang terbang saat aku dibuang oleh seorang ibu muda yang tadinya membeliku. Kau dapat bayangkan ketika aku berada di rak sebuah swalayan itu. Aku dengan cantik dan mengkilap berkilau berjejer dengan kaleng susu yang lain—ada yang serupa, ada yang tidak—begitu gagah di balik kaca itu. Ya, kau tahu kan tempatku berbeda dari produk lainnya yang memenuhi rak-rak rapi di swalayan itu. Kalau kau perhatikan, aku ini biasanya diletakkan dekat dengan tempat kasir. Jelas saja, tak semua tangan dapat menyentuhku, apalagi memasukkan aku dalam salah satu keranjang belanjanya. Tentu saja hanya tangan-tangan terpilihlah yang mendapatkan aku. Walaupun aku bukan yang satu-satunya berada di rak-rak itu, setidaknya aku patut berbangga diri.
Namun kini aku kosong. Habis sudah masa jayaku. Zaman keemasanku. Bayi mungil itu begitu lahap dan dengan cepat menghabiskan bubuk susu yang kukandung sehingga aku terbuang kini. Inilah nasibku si kaleng tua. Meskipun begitu, paling tidak aku masih bisa melayangkan pikiranku ke dalam diriku sendiri. Tak peduli jika hanya kosong yang kulihat. Karat yang tampak di sekeliling dindingku. Malah kini aku tanpa tutup. Jika hujan maka air hujan memenuhiku. Jika panas mendera kau tahu rasanya. Air hujan yang tertampung itu perlahan meluap dan hanya menyisakan karat padaku.
Oh, aku berpikir... dan melayang..
Bagaimana jika aku tanpa sengaja ditemukan sekelompok anak kecil yang tengah bermain karet gelang, dililit-lilitkan di jari-jari mereka hingga membentuk rumah, panah, atau bahkan kuburan. Ketika menemukan aku, si kaleng kosong berkarat ini, terlihat jelas wajah mereka seperti mendapatkan sekantong permen tak diduga dari orang entah siapa. Betapa girangnya mereka karena permen itu bukanlah sesuatu yang bisa mereka dapatkan saban hari. Terlebih lagi bukan sebiji dua yang mereka dapatkan, sekantong! Bayangkan sekantong! Kesenangan itu tentu sering menjadi angan-angan belaka bagi mereka anak kecil karena sang ibu yang tak izinkan untuk membeli, lalu bagaimana pula cara mereka merasakan nikmat manisnya bergoyang di lidah. Entah karena harganya yang mahal (sebab kemasannya yang mewah selayaknya aku dahulu. Kau tahu kan betapa mahalnya aku?), atau karena ditakut-takuti akan sakit gigi.
Tapi, jika kupikirkan lagi, pastilah karena uangnya habis untuk membeli susu formula adik. Jika habis, kalengnya mungkin dibuang seperti aku. Tergolek di tong sampah, diserang panas, hujan berkepanjangan kemudian berkarat tak berdaya. Dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang peduli kecuali dua hal: ditemukan pemulung atau berpindah tangan pada anak-anak yang amat ingin bermain karena sesal tak mendapat sekantong permen dari ibunya.
Apa yang terjadi kemudian?
Satu. Jika pemulung menemukanku maka aku akan masuk ke karung goni palstik yang baunya busuk seperti nasi basi yang sudah berjamur seminggu. Aku akan bercampur tertumpuk, berdesakan dengan puluhan kaleng dan botol lain. Entah darimana pemulung itu mendapatkan mereka. Lengkap sudah nasibku ini. Sudahlah tak bertutup, karatan, berkumpul pula dengan sekumpulan kaleng, botol yang baunya macam-macam lagi. Rasanya lebih baik di tong sampah. Meski ada sampah-sampah lain namun jelas akulah yang berbeda. Lain dari yang lain. Jadi, aku masih bisa berbangga diri seperti dulu toh? Meski tempatnya kini sudah jauh, sangat jauh berbeda.
Dua. Jika aku berada di tangan anak-anak itu maka mereka akan menjadikanku apa saja. mainan mereka, tapi bentuknya apa saja. Karena imaji dan fantasi anak-anak memang tak terbatas. Tak ada belengggu dan tak ada habisnya. Kadang orang dewasa sekalipun tak mampu menyamai bahkan berpikir serupa, berimaji sejalan. Terlalu banyak yang dipikirkan orang dewasa daripada sekadar berfantasi. Apa gerangan? Hidup mereka? Hidup ini tak usah dipikirkan, tapi dijalani! Tapi mana mau mereka mendengar, nasihat itu ibarat celoteh anak kecil pikirnya. Tak perlu diresapi. Angin lalu saja. Mereka merasa paling tahu tentang hidup padahal anak kecil sekalipun mampu memberikan pencerahan pada mereka. Terlebih-lebih cara untuk terbang, bebas dari belenggu, lepas berimajinasi. Tapi dasar orang dewasa. Seringnya merasa lebih pintar.
Anak-anak itu bisa menjadikanku apa saja. Kaleng untuk penggulung benang layang-layang mereka, mereka pukul-pukul saja dengan kayu sehingga berbunyi bising diiringi dengan nada nyanyian mereka. Asalkan mereka jangan nyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Kasihan, mereka masih kecil, biarkan saja tetap berada dalam dunianya yang penuh warna dan tawa. Tak perlu merasakan kesedihan, kepedihan orang-orang dewasa yang galau karena cinta.
Atau, mereka juga bisa mendirikanku di tengah jalan dan kemudian mereka tembakkan gundu mereka ke arahku sehingga aku berbunyi bising lagi. Tawa mereka pun pecah. Senang telah berhasil menembakku tepat sasaran. Layaknya koboi yang tengah duel dan berhasil menumbangkan lawannya. Senyum seringai menghiasi wajah mereka. Meski ada beberapa anak yang tak berhasil menembakku dengan tepat mereka akan tetap tertawa, tak berkecil hati, karena masih ada kesempatan, masih ada cara lain untuk benar-benar menembakku dengan tepat. Permainan inilah yang mereka tertawakan. Apapun hasilnya, mereka masih tergelak bersama, sambil menikmati sore yang perlahan senja. Menunggu akhirnya mereka dipanggil ibu pulang untuk mandi.
Lalu bagaimana dengan nasibku? Bisa jadi aku akan mereka biarkan berada di tengah jalan sampai ada orang dewasa yang mengenyahkanku kembali ke peraduanku: tong sampah. Hingga esok aku entah akan hilang di balik karung goni plastik sang pemulung atau malah kembali menjadi mainan bagi anak-anak itu.
Akan jadi apa aku besok? Itu masih misteri. Perjalanan masih panjang. Jangan cepat berkecil hati. Putus asa masih jauh. Kejutan masih menantiku esok. Dan begitupun kehidupan anak-anak itu. Orang-orang dewasa itu.
Saturday, February 26, 2011
My rating: 5 of 5 stars
Saya tidak tahu harus memberikan berapa bintang untuk karya Dee yang satu ini. Kalau bicara ingin, dari awal saya tahu akan beri bintang lima. Tapi kalau bicara harus...., sepertinya akan berbeda.
Saya meragu. Saya jadi segalau ini. Disatu sisi, saya sudah langsung jatuh cinta ketika membaca Rectoverso—karya Dee yang pertama saya baca. Yang artinya, saya percaya karya Dee sempurna. Membuat saya tidak hanya penasaran dengan ceritanya, tapi juga masuk ke dalamnya dan merasakan. Tapi di sisi lain, Perahu Kertas ini bukanlah sesuatu yang sebagaimana saya harapkan. Bukan berarti saya kecewa. Tidak begitu. Karena saya suka tokohnya. Karakter mereka begitu kuat. Saya suka konfliknya. Emosi mereka yang bermain dalam novel ini naik turun, sesekali emosi saya juga. Entah karena turut merasakan emosi mereka juga atau malah karena saya merasa tak menemukan apa yang saya cari, apa yang saya mau dalam karya Dee ini. Saya suka bahasanya. Ringan namun berisi. Dengan komposisi manis yang pas dan menarik hati untuk membacanya.
Hmmm, kalau ceritanya.... Mungkin sebagian besar orang bisa bilang banyak terjadi kebetulan dalam alur ceritanya. Tapi saya percaya itu bukan kebetulan. Karena meski dalam cerita, dunia khayal—fiksi sekalipun, tidak ada yang namanya kebetulan. Saya lebih setuju jika itu semua adalah takdir. Bagaimanapun, dari kacamata saya, penulis adalah Tuhan bagi skenario ceritanya. Ia berhak untuk menentukan bagaimana alur cerita itu akan bergulir. Siapa akan bertemu siapa, dan bagaimana itu terjadi, dan seterusnya. Bahkan di dunia ini, sehelai daun yang jatuh pun ada sebab. Maka saya tidak percaya pada kebetulan. Meski itu hanya dalam sebuah cerita. Saya percaya itu takdir.
Perlu saya akui, saya tidak begitu suka dengan ceritanya. Sempat membuat saya agak bosan dipertengahan cerita. Bukan karena alurnya yang sepertinya sudah dapat ditebak, hanya saja entah kenapa saya tidak benar-benar bisa menikmatinya, tidak sungguh bisa ikut merasakannya. Tidak secara total. Di beberapa bagian, ya. Tapi tidak seluruhnya. Padahal, saya tahu saya memang terpikat dengan bahasa dan gaya ceritanya. Saya tidak pernah sangsi dengan bahasanya yang begitu memikat hati.
Terlepas dari itu semua, walaupun saya tidak secara total jatuh cinta pada Perahu Kertas ini tapi saya tetap cinta dengan segala spirit dan jiwa yang terdapat pada keseluruhan novel ini. Dan pada akhirnya saya tahu bahwa kecintaan saya ini mengalahkan faktor-faktor kecil dari ketidaksukaan saya sehingga saya tahu saya akan berikan lima bintang untuk novel ini. Namanya saja sudah cinta, kalaupun ada yang kurang sedikit itu bukanlah masalah. Karena perkara mencintai bukanlah terletak pada kesempurnaan, justru bagaimana mencintai ketidaksempurnaan itu. Seperti itu pula kiranya perasaan cinta saya pada novel ini.
Dan saya ingin melepaskan perkara “harus” atau “ingin” itu. Karena namanya saja sudah cinta. Cinta itu menerima meski tak sempurna.
Cheers. :D
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Saya tidak ingin memaksa diri untuk mengerti bagaimana kisah ini. Kemudian, tak perlu juga mendesak keinginan untuk memahami bagaimana cerita ini bergulir dengan sederetan tokoh, alur, dan konflik yang ada di dalamnya. Hanya rasakan saja. Merasakan justru lebih baik untuk saya. Tidak harus bertanya mengapa tiba-tiba ceritanya begini, atau mengapa alurnya begitu. Saya hanya ingin merasakan apa yang terjadi, menyimak dengan seksama, dan mendengarkan dengan baik, karena “Aku” sebenarnya sedang ingin berbagi, bercerita.
Bagi saya, cerita ini adalah kenangan. Dan kenangan adalah salah satu hal yang berharga yang dimiliki dan untuk dapat disimpan. Bahkan akan lebih baik jika itu bisa dibagi. Dan alangkah senangnya jika ada seseorang yang dengan senang hati bersedia mendengarkan. Menjadikannya pula sebagai kenangan bagi dirinya pribadi. Terlebih lagi ketika tidak ada sikap menghakimi, ini salah itu benar, menyudutkan, apalagi memojokkan.
Saya suka dialognya. Terasa singkat, jelas, namun sarat makna. Meskipun harus saya akui bahwa segala makna yang tersirat di dalamnya belum sepenuhnya saya pahami. Oh, sepertinya tidak perlu saya pahami untuk saat ini, karena tidak semua pertanyaan dalam benak saya harus dapat jawabnya saat ini. Atau mungkin tidak akan saya temukan jawabnya. Tidak masalah. Setidaknya saya mencoba merasakan.
Sepertinya hanya ini yang dapat saya ungkapkan. Dan begitulah.
View all my reviews
Sunday, January 30, 2011
Empat Musim, 16 Cerita

Hmmm...
Ternyata memang tidak biasa. Bertemakan cinta dengan jalan cerita yang sederhana, tapi toh ternyata endingnya tidak seperti yang disangka. Banyak cerita yang mengejutkan. Ada yang bikin saya jadi senyum-senyum sendiri, tapi ada juga bikin hati saya ngenes. Yang jelas, cerita-cerita dalam buku ini terasa begitu jujur dan mengalir.
Ada Adhitya Mulya. Penulis yang saya kenal familiar lewat novel “Jomblo”-nya. Tulisannya kocak dan menghibur. Tapi kadang juga terasa aneh. Seperti cerita “Scene 40 Yang Bermasalah Itu”. Bagi saya cerita itu aneh. Sebenernya dia ingin melucu atau ngehoror? Aduh, saya sempat ingin melewatkan membacanya tapi, ya, tanggung juga. Saya tidak habis pikir kenapa ada salah satu tokoh menyeramkan—yang sangat tidak ingin saya sebutkan namanya—yang sering dimunculkan dalam cerita itu. Saya tidak suka horor dan mari kita skip saja. Bygones.
Saya suka cerita “Pernah Jadi Aku?” yang ditulis Okke ‘Sepatumerah’. Benar-benar terasa seperti ungkapan dari hati. Saya jadi berpikir bahwa memang banyak orang menutupi sisi psikologis yang ada dalam dirinya, sebenar-benar perasaannya, dan juga amarahnya. Dan yang bisa dia lakukan adalah mencari alasan pembenaran atas semua yang terjadi terhadap dirinya. Atas bagaimana orang-orang menilainya, memperlakukannya. Tapi sayang, ketika alasan itu sudah tak dapat lagi memberikan pembenaran bahkan peneguhan maka emosi dan amarah itu menyeruak, berteriak, meraung. Itu yang saya rasakan pada seorang “Cassie”, tokoh dalam cerita ini. Saya jadi ingin mengutip:
“Kalo gitu, lo nggak tau apa-apa sama sekali. Gue pernah. Selama 24 tahun gue hidup, gue diperlakuin kayak gitu. Selama ini gue berusaha nerima dan menganggap ringan semuanya. Tapi sekarang gue udah muak.”
Yap. Menerima begitu saja apa yang terjadi sepertinya bukan hal yang mudah dilakukan. Mungkin. Tapi intinya saya suka cerita ini.
Saya juga terpaut oleh cerita “Saya, Dia, dan Samuel Morse” yang ditulis Rizki Pandu Permana. Ooh, sebuah cerita perkenalan yang manis. Lebih deskriptif. Percakapan yang terjadi antara tokoh yang ada terlihat biasa saja, tapi jelas jujur dan bermakna. Saya juga ingin katakan cerita ini so sweeeeet... hehe...
Tapi hati saya mendadak terhempas ketika membaca “Sekeping Hati yang Tersisa”. Dari judulnya saja sudah bikin sedih. Kalau bisa saya andaikan, cerita ini sepertinya terwakili dengan lagu “Yang Terlewatkan”-nya Sheila on 7. Hmmm....
So, 16 cerita dalam buku ini menyajikan cerita cinta yang kalau saya bilang... sederhana tapi berbeda. Mantep deh!
Subscribe to:
Comments (Atom)