Wednesday, December 29, 2010

dark black

Orang yang paling menyedihkan adalah orang yang merasakan kepedihan tanpa mampu membagi kepedihannya pada siapapun.

Orang yang paling menyedihkan adalah orang yang merasakan kemarahan tanpa mampu mengungkapkan kemarahan itu dengan cara yang sopan pada siapapun.

Orang yang paling menyedihkan adalah orang yang merasakan sesuatu apa pun itu, tapi sayangnya ia tak memiliki orang yang tepat untuk membaginya, karena hati yang tak terkoneksi, pikiran yang tak menyatu, atau barangkali waktu yang tidak tepat. Ah, anjing. Apa manusia harus selalu butuh waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu? Apakah memang harus selalu butuh waktu yang tepat untuk membagi sesuatu? Bagaimana jika sesuatu itu tak bisa menunggu?

Ah, anjing. Anjing. Anjing.

Nonsense.

Hibernasi, kembalilah padaku. Peluklah jiwaku. Aku tak ingin manusia-manusia itu. Aku cuma ingin kau. Cukuplah bagiku kita dan Tuhan saja yang tahu.

Harapan

Adakah benar harapan itu harusnya dijaga, dipelihara, dipupuk dan terus dipercaya hingga benar pupus segalanya? Hingga segalanya habis tak bersisa? Aku menyimpan kecurigaan besar bahwa harapan itu adalah kehampaan, penipu ulung di hati manusia yang sepi, setia menemani pada relung jiwa yang kosong. Harapan itu bukan seperti si cantik yang buruk rupa atau seekor kodok padahal pangeran tampan. Justru sebaliknya, ia seolah terasa manis dan membahagiakan, malahan ia hanya tawarkan suatu ruang tak bernyawa. Tapi, bagaimana mungkin banyak dari mereka yang bisa hidup di ruang hampa itu?

Coba saja pikirkan, berapa banyak orang yang masih berharap pada sesuatu atau orang lain yang sudah tak bisa lagi diharapkan? Berapa banyak kekasih yang berharap pasangannya kembali meski nyatanya sudah tak mungkin? Berapa banyak orang yang hidup dengan asa tapi malah mati sia-sia di dalamnya? Harapan menjadi bermuka dua, licik. Ia seperti menawarkan jawaban dan pembenaran atas segala yang tak nyata dan tak mungkin. Katanya, “masih ada waktu” atau “tak ada yang tak mungkin” atau bahkan, “segalanya bisa saja berubah”. Hei, okey, fine. Tapi ayo kita balik lagi. Barangkali orang bisa mengiyakannya, tapi sejauh mana harapan itu bisa menjadi ketenangan yang diidam-idamkan hati dan perasaan? Sejauh mana harapan itu dapat menjawab pertanyaan yang datang dari orang lain, bahkan diri sendiri? sejauh apa harapan itu dapat menjelma menjadi suatu kekuatan terbesar untuk bertahan?

Adakah benar adanya menggantungkan hidup kita pada harapan?

Pada titik ini, aku pikir, harapan menjadi perpesktif yang menyajikan rasa pesimis. Mereka merasa hidup dengan harapan. Bisa jadi mereka hidup, tapi jiwa mereka telah mati. Mereka membunuh jiwa mereka sendiri, mengantarkan hati pada jurang harapan yang kelam. Sungguh, aku berprasangka pada harapan itu. Jika begini kasusnya maka sudahlah, relakanlah, dan berhentilah berharap. Maafkan, harapan itu semu.

Namun, justru persoalan yang jadinya membingungkan adalah terkadang ketika harapan dipercaya sebagai suatu keajaiban maka ia serta merta menjadi suatu energi tak berbatas bagi mereka yang menjaganya. Mereka akan terus hidup dari energi asa yang mereka biarkan untuk mengalir terus mengisi apa yang ku kira kehampaan. Mereka percaya bahwa harapan itu benar, ia tak semu, tak hanya idaman hati. Karena ia begitu nyata. Senyata ketika kau percaya, merasakan harapan itu memenuhi hati dan jiwamu. Mengisi dada dan otakmu. Bahwa harapan memang harus diperjuangkan. Seperti laiknya harapan orang tua pada buah hatinya.

Jika begini jadinya, apakah harapan itu tak punya makna absolut? Mengapa masih ada tawar menawar? Ini bukan jual beli. Harapan bukan dagangan, I guess.

Lalu, berada di sisi manakah kita? Oh, entahlah. Biarkan saja hati memilih mana yang kau percaya.

Thursday, December 2, 2010

McBealism

Ini mereka: Ally McBeal, Renee, Billy, Georgia, John Cage, Richard Fish, Elaine, Nelle, dan—Ling. Ada dua kata yang bisa kukatakan untuk mereka dan film ini: Odd and expressive! Bayangkan saja, ini aneh ketika Ally yang ketika itu berumur 8 tahun sudah mengetahui belahan hatinya, hanya dengan “mengendus” pantat teman semasa kecilnya—Billy. Hmm, bukankah itu cara seekor—maaf—anjing untuk menarik perhatian lawan jenisnya? Atau katakanlah sekadar berkenalan saja? Tapi toh, itu terjadi dalam kehidupan Ally. Tunggu, aku pun tak bisa memvonis bahwa itu sesuatu yang aneh—atau sangat aneh.

Kemudian aku melihat sesuatu yang berbeda, atau lebih aneh lagi. John Cage, merasa penting untuk memastikan bahwa toilet favoritnya haruslah benar-benar bersih. Maka sebelum ia menggunakannya, cukup tekan “flusher” dan brushhhh... toilet itu secara otomatis menyiram sendiri. Ketika orang lain atau rekan kerjanya memperhatikannya dengan pandangan setengah ingin tahu bercampur setengah terkejut, ia cukup katakan: “I like fresh bowl”. Dan ia berlalu. Aneh? Jangan dulu.

Dan dalam episode lain aku menemukan, Ally sering melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Entah itu unicorn, balita laki-laki yang senang menari, atau imajinasi liar lainnya yang terasa begitu nyata. Lalu, bagaimana John Cage dan Richard Fish merasa harus mendengar “bel” percaya diri berdenting dalam kepalanya sebelum melakukan sesuatu. Atau kebiasaan John yang selalu melepas sepatunya dan berputar mengelilingi sebuah pilar tembok untuk persiapan closing di persidangan. Dan bahkan Ally, yang dapat menggoyangkan bahunya, menari sebenar-benarnya menari, hanya karena ia mendengarkan musik favoritnya bergaung di kepala... “Yeah, the music is playing on my head”... And Elaine! How could I forget? Dengan karakternya yang suka gosip dan merasa selalu dibutuhkan, ia punya sesuatu yang lebih “lain”. Ia lebih sibuk memperkenalkan “face bra” atau inovasi produk lainnya di kantor. Aneh kan? Belum tentu.

Pada satu titik, aku memikirkan bahwa setiap orang memiliki sisi yang berbeda, sisi aneh dalam dirinya. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Bahkan sebaliknya, jangan-jangan kita harusnya merasa aneh karena tidak memiliki keanehan sama sekali. Dalam hal ini, aku memandang keanehan personal sebagai sesuatu yang manusiawi. Batasan mengenai apa yang membuat keanehan tersebut masih dalam taraf “normal”, kita punya pandangan masing-masing . Bisa jadi, batasan itu tak selalu sama. Mungkin saja, batasan itu menjadi kabur atau tidak jelas karena kita tak punya aturan baku untuk itu. Tapi bagiku pribadi, selama keanehan itu tak membuat orang di sekitar kita terusik atau terganggu hidupnya, lalu apa yang salah?

Keanehan-keanehan pada karakter dalam film ini membentuk suatu keunikan yang berbeda. Mereka tetaplah para pengacara yang brilian, cerdas, dan memukau. Walaupun mereka punya sifat-sifat keanehan , justru itu bukanlah masalah. Karena dengan itu, mereka berani untuk menunjukkan bahwa beginilah aku! Dalam interaksinya, mereka menerima keanehan masing-masing, memperlihatkan diri mereka secara natural dan ekspresif. Mereka memiliki keanehan tanpa harus takut untuk dicap aneh. Dan penerimaan seperti itu merupakan penghargaan bahwa mereka saling mengerti dan menghargai satu sama lain. Bukankah begitu lebih enak?

Maka ingin kubagi padamu, aku tak perlu takut untuk dikatakan aneh ataupun berbeda, jika aku hingga saat ini masih berhibernasi—meski dalam level yang berbeda—sambil berbicara dengan diriku sendiri hanya untuk dapat membuatku kuat, tegar, dan percaya diri pada titik tertentu. Kita mempunyai keunikan yang jelas berbeda dari yang lain. Begitu pula sebaliknya. Daripada aku memusingkannya maka kuputuskan untuk menikmatinya. Bisa jadi, keunikan atau keanehan ini memang Tuhan berikan secara khusus pada setiap makhluk-Nya. Ini anugerah. Jadi, tersenyum saja yang manis.

Saturday, November 13, 2010

Duga

Hanya aku

Kembali dipertanya oleh aku

Ditusuk dihujam olehmu

Hingga aku mati beku...

Kaku, kelu, bisu

Tapi aku tau aku tak keliru

Meski firasatku sering meragu

Kenapa tak kau hiraukan aku?


Katakanlah dengan matamu

Ucapkanlah dengan hatimu

Aku ingin tahu

Sungguh! Ingin benar ku tahu

Biar berhenti aku yang dipertanya olehku

Dihantui diikuti olehmu


Ha! Tafsiran hanyalah tafsiran semata

Hipotesis tak berguna jika hanya kau terawang saja

Analisis pun tak cukup

Dan aku harus terjun menelusup dalam dirimu

Tak peduli jika terus saja tanya menguntit malu dari balik mataku

Duga, duga, dan menduga

Oh,oh, betapa malangnya


Kenapa sedih harus menjelma di hati?

Toh, hidup ini adalah dugaan selamanya

Mungkin,

Duga hanya bisa menduga jika Tuhan akan datangkan dirinya tanpa terduga

Monday, November 8, 2010

Selamat Ulang Tahun

Karena hari ini hanya terjadi sekali dalam setahun, aku ingin mengajukan beberapa permintaan. Jangan tanya pada siapa, karena akupun tak tahu pasti.

Pertama, aku akan sangat senang jika pada hari ini sepasang jarum jam berkomplot untuk membuat waktu berlalu begitu cepat. Akan kubujuk kurayu mereka, biarkan, hari ini jadi hari untukku seorang. Satu hari ini... saja. Jika memang harus memelas, akan kulakukan, why not? I’ll do it cause its once in a year. Tapi masalahnya adalah, merayu mereka tak sama dengan merayu seekor kucing manis dengan membelai lembut dagunya agar ia menunduk dan balas memelas. Meminta dibelai lagi, lagi, dan lagi. Tidak, tidak. Bukan begitu caranya. So, how? Mempercepat laju jam tanganku sendiri dengan memutar pengaturnya sesukaku jelas bukan jalan keluar. Hmmm.., susah juga ternyata.

Oke, aku ingin lanjutkan saja dengan permintaanku yang kedua. Aku ingin memoriku sejenak melupakan bahwa hari ini adalah hari lahirku. Satu hari ini... saja. Jadi, aku ingin hari ini berlalu seperti biasa, tanpa rasa takut, deg-degan, bahkan yang paling penting adalah tanpa harapan. Aku tidak ingin memikirkan betapa aku dihantui dengan berbagai kemungkinan bagaimana rupanya hari ini akan berjalan? Enyahlah kau! Aku sungguh tidak ingin memikirkan atau merasa ada yang berbeda hari ini. Fine, I know there’s nothing wrong with birthday, which is mine is today, but people make it different. And it kills me. But, oh my God! I did the same things when my friends—the others got their birthday! Am I entrapped?

Wow. Barangkali ini jadi permintaanku yang ketiga: tolong! Keluarkan aku dari putaran jebakan ini. Aku hanya ingin melalui hari ini maupun esok sebagaimana biasa. Aku terbangun dari mimpi, bersiap dengan segala rutinitas dan menapaki hari ini dengan doa yang kerap kali lupa kuucapkan dan pertanyaan hidup yang terus menghujaniku tanpa ampun.

Oh, mungkin... karena hari ini hanya terjadi sekali dalam setahun dan hal ini menjadi begitu personal. Hanya terjadi padaku. Pada setiap orang yang lahir di dunia ini. Dan aku, kamu, ataupun setiap orang yang ada di muka bumi ini hanya memiliki waktu 24 jam untuk sejenak menyadari bahwa belasan atau puluhan tahun lalu mereka diberi kehidupan dan diberi kesempatan untuk merasakan kehidupan. Hingga detik ketika hari itu telah berganti...

Ah, sebenarnya hal itu bisa terjadi kapan saja.

Tapi... bukankah meresapi betapa berbedanya hari ini adalah sebuah kesempatan? Yang membuatnya berbeda hanyalah karena suatu momen. Hari ini adalah momen. Dan teori bodohku mengatakan, mungkin itulah yang membuatnya sedikit berbeda dengan hari yang lain. Yap, hal ini bisa terjadi pada hari mana saja dimana satu hari kau anggap berbeda karena ada suatu momen didalamnya. Dan ya, bisa jadi, ini hanya anggapan orang-orang—bahkan aku, mungkin juga kamu—yang dengan “semena-mena” menetapkan berbagai simbol-simbol disetiap inci kehidupan. Hari ini hanya berbeda untukku saja—hmm, mungkin untuk orang-orang disekitarku yang menyadarinya.

Kemudian, sebuah perayaan—teori bodohku lagi—mungkin untuk pelengkap, peneguhan bahwa hari ini berbeda, spesial. Dan perayaan ini banyak bentuknya. Kupikir, dengan duduk melamunkan hidup yang terkadang berjalan tidak sesuai dengan harapan di sudut kamar, atau berhibernasi, atau bernostalgia dengan puluhan tahun yang telah dilalui, bisa menjadikan hari ini begitu spesial tak terkira. Tapi, menjadikannya benar-benar berbeda bukanlah suatu keharusan, I guess. Terlebih dengan peneguhan berupa perayaan—dan juga ucapan “Congratulations!”. Hanya saja, mungkin ketika mereka—teman atau keluarga—melakukannya untukmu, tak ada salahnya untuk menghargai. Aku akan menganggapnya sebagai sebuah sanjungan, satu hari ini... saja.

Namun, yang kembali mengusik pikiranku adalah aku tidak ingin berharap apapun. Jelas, hari ini. Karena harapan itu sesungguhnya kosong, nol, nihil, zero. Karena harapan bisa membuatku menunggu dan terlena begitu saja. Dan ternyata tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa. Dan inilah permintaanku yang keempat. Kalaupun memang ada yang berbeda atau spesial atau apapun namanya... pada hari ini... aku hanya ingin melaluinya tanpa beban, tanpa harapan... biarkan aku menikmati dan membuat hari ini begitu berbeda dengan caraku sendiri...

Satu kali lagi... saja.

Permintaanku yang kelima: just fast-forward today!

Hari Ini

Aku coba lalui hari ini meski gusar menyesakkan dada. Hati ini telah penuh dengan kegusaran yang semena-mena merajalela, memenuhi ruang otakku. Rasanya, lumpuh sudah sendi-sendi kaki dan tanganku karena gusar, gundah yang memuakkan ini. Sungguh tak kusangka, begini rupanya jika kegusaran merajai setiap hari yang kulewati. Ingin rasanya kukatakan pada dirimu, namun lidahku kelu, aku ingin menangis saja, sehingga aku tak perlu bersusah payah bicara, menyusun kata, membuat segalanya menjadi masuk akal bagimu. Dengarkan saja raung tangisku, itu sudah cukup. Karena memang, tak mudah berkata-kata, walau hanya sendiri, pada diriku sendiri saja. Setelah sekian lama, aku baru menyadari bahwa aku telah kehilangan kemampuan untuk hibernasi. Tak ada lagi beruang yang tidur di musim dingin, tak ada lagi aku dengan sepetak kecil ruang kamar. Hanya saja jangan biarkan aku sendiri. Karena hari yang kulalui hari ini sungguh menyesakkan dada.

Aku jadi ingin berlari, sekencang-kencangnya, sampai peluh membasahi seluruh tubuhku, sampai aku tak sanggup lagi berlari, dan sampai lumpuh benar semua sendi-sendi kakiku. Biar aku penat, hingga tak perlu khawatir jika hari ini bukanlah hariku. Biar aku capai, hingga nanti, seusai berlari, aku akan tidur lelap. Mengarungi dunia mimpi, barangkali saja kita akan bertemu di sana. Dan aku bisa puas bercakap-cakap denganmu tanpa jeda, dan saat itu pula aku berharap jangan potong kata-kataku, biarkan semuanya mengalir… walaupun mungkin, kau tak bisa untuk itu. Kalau tidak, biarkan saja aku dalam kesendirian, aku tak akan takut meski malam ini aku bisa mimpi buruk seperti kemarin. Atau.., biarkan aku berlari, hingga aku letih dan haus, kemudian aku akan minum berliter-liter air, sampai aku teler karena mabuk air. Dan biarkan saja aku mati karena berlari, biarkan aku terseok-seok dalam keringnya nafasku, dan biarkan.., biarkan.., aku buang semua gelisah dan gundah ini dengan caraku sendiri…

Kau tak usah ikut-ikut berlari menyusulku, biarkan saja aku sendiri, dalam kesendirian, seperti hibernasiku. Aku tak perlu menarik dirimu ke dalam duniaku yang penuh dengan gelisah, gundah, gusar, sesak…,

Mungkin aku memang tak berpendirian. Aku tak mau sendiri, aku ingin kau temani, aku ingin ada dirimu, tapi malah aku mengusirmu dengan kejam, tak berperasaan. Jangankan kau, akupun gamang. Aku bisa bayangkan, tak perlu atraksi seorang badut untuk membuatku tertawa, tak perlu sekotak permen untuk membuat hari ini terasa manis. Duduklah hari ini disampingku teman, itu saja.

Monday, August 23, 2010

Kursi Kayu Reyot

Aku masih ingat, aku duduk sendiri di sebuah kursi kayu reyot. Ketika itu, dalam kegelapan malam yang dingin aku menengadah, memandang langit. Sepi dan sendiri, walau bintang bertaburan seperti butir gula di atas roti bermentega. Sambil merenung, tubuhku dibelai angin, merasupi jari-jari kaki yang tak beralas, menjalari jemari tanganku yang bersembunyi di balik dada. Angin malam memang berbahaya, dinginnya menusuk-nusuk bagai jarum. Tapi bagiku kini itu tak mengapa teman, karena resah hidup ini lebih menusuk, laiknya belati yang menghujam. Tak terbantahkan perihnya, sakitnya, pedihnya.

Sehingga malam dan malam berlalu, hanya pertanyaan yang kuajukan. Okta benar adanya, cahaya bulan memang menusukku dengan ribuan pertanyaan. Hanya yang kusayangkan ketika ia meneriakkan, “Yang tak akan pernah kutahu dimana jawaban itu..” Aku patah arang. Bagaimana mungkin bisa?

Kembali aku menyusuri jejak yang kutinggalkan dahulu. Mengurai lagi kenangan yang pernah kusisipkan dalam mimpiku. Tuhan, apa rencana besar yang sudah Engkau persiapkan untukku, hamba-Mu yang hina ini? Izinkan aku mengintipnya. Sudikah Engkau bukakan jalan untukku?

Aku baru tersadarkan bahwa realitas hidup tak seperti yang kubayangkan ketika remaja dulu. Kupercaya, akan ada aral melintang, tapi kenapa mimpi masa itu tak mudah untuk diwujudkan. Serasa jatuh, jiwaku terhempas. Sulit, dan yang kulakukan hanya duduk di kursi kayu yang reyot, merenung, termenung, berpikir. Mengendapkan masalah ternyata bukanlah jalan. Yang tak kusadari, ternyata waktu terus bergulir, dan suatu ketika ia akan kembali datang, dimalam yang lain, yang bisa jadi, lebih dingin daripada hari kemarin. Menuntut untuk dijawab, meminta putusan. Duh, barangkali inilah pengadilan masa depan. Sialnya, ketakutan mulai merasupi otakku. Aku sendirian. Masih duduk di sebuah kursi kayu reyot yang sering berderik, berbunyi karena gerak kecemasanku. Peluh membasahi telapak tangan, hidung, pelipis, hingga ujung kaki. Hei, ini malam yang dingin.

Kemudian, tanpa disangka, suatu malam yang lain dimana kursi itu masih berderik karena sudah mau patah, aku ditemani kawan-kawan. Mereka duduk didepanku, tak sengaja membuka obrolan. Tanpa basa basi, segalanya terkuak. Dan ternyata itulah jawabnya.., mengapa kau harus takut kalau Tuhan ada untukmu? Mengapa harus ada keraguan jika keyakinan itu ada di dalam dadamu? Mengapa harus cemas? Karena Tuhan sudah siapkan segalanya..., sungguhlah! Beranilah! Hadapi! Jangan biarkan ketakutan itu menggenggam jiwa ini terlalu lama..

Hingga aku masih duduk di sebuah kursi kayu reyot. Tetap berderik dan benar-benar mau patah. Tapi kini, malam ini, ada yang berbeda. Aku tak perlu takut jatuh duduk di sana, karena kuyakin ada penyangga yang kuat. Kakiku pun sudah beralas, tubuhku dibalut sweater yang menghangatkan. Jiwaku penuh. Ah.., ketakutan hanyalah sugesti. Dan aku benar-benar tahu yang akan kulakukan. Aku akan maju, dan ‘kan kulihat dimana aku akan berhenti, hingga aku tak sanggup. Tapi aku tahu aku akan tetap dengan keyakinan yang sama.., percaya bahwa tak ada jalan buntu.

Tiba aku beranjak untuk pergi. Meninggalkan kursi kayu reyot yang tak lagi sama. Malam yang benar-benar berbeda. Dan sadarkah kau teman? Langit lebih kelam malam ini, hanya dengan satu bintang saja. Tapi, ia berpendar lebih manis, seperti setitik madu dalam secangkir teh hangat.

Sunday, August 22, 2010

Hibernasi

Perkenalkan, namanya Hibernasi.

Hibernasi, bagiku bukanlah hanya sekadar kawan bicara. Dia sempurna. Dia yang terbaik. Ini rahasiaku, hanya kau dan aku yang tahu. Suatu ketika, dia menemukanku, duduk di bibir kasur, termenung. Sambil ditemani oleh cahaya jingga yang mulai kemerahan, aku memulai ceritaku. Terbata-bata aku menyusun kata-kata. Tersedu sedan aku mulai menangis. Kemudian dia hanya diam, diam, dan diam. Cermat merasakan emosiku, begitu dekat sehingga aku tercekat. Hingga aku tak lagi mampu berkata-kata. Hingga aku kehilangan kata-kata. Dan akhirnya hanya umpatan yang kuseru berulang-ulang. Dia tak akan marah atau melarangku untuk itu. Karena ia akan dengarkanku tanpa interupsi. Apalagi protes.

Hibernasi, bagiku adalah pelampiasan emosi yang terbaik. Dia menduduki posisi penting dalam hidupku beberapa tahun yang lalu. Menjadi “teman” yang begitu baik. Dia dapat menerimaku apa adanya. Lagi-lagi tanpa protes. Ia paham aku. Kurasa, ia lebih tahu aku daripada bunda. Haruskah aku takut? Haruskah aku merasa takut disaat orang tua bukanlah sosok yang paling paham watakku? Haruskah aku cemas ketika orang lain atau apapun itu lebih mengenal diriku daripada keluargaku sendiri? Entahlah.

Hari mulai gelap. Air mata ini sengaja ku biarkan mengering disapu angin. Serangan flu sekejap yang biasanya datang ketika bulir air mata menggenang di pelupuk mata, juga mulai hilang. Lalu, selembut mentega ia merangkai kata. Memintaku untuk tenang dan jangan khawatir. Menopang tubuhku agar tak jatuh. Menggenggam erat jemariku, menguatkanku. Meyakinkanku dengan segala kegamanganku. Memeluk jiwaku dengan hangat. Katanya, hidup ini akan baik-baik saja dan aku bisa melalui semua problema. Panas hatiku teredam. Sakit ini ia obati. Aku pun berbaring, dalam tenang aku terlelap dan bermimpi. Ia masih di sana menemaniku. Bagi diriku, remaja yang tengah mencari makna diri, apa lagi yang bisa kulakukan selain hibernasi? Kukatakan, orang lain pun tak akan mengerti.

Hibernasi, ini adalah suatu situasi yang awalnya kupaksakan untuk lahir. Tanpanya, aku tak akan bisa bertahan. Tak terbayang rasanya bagaimana aku melewati masa pubertas. Bergantung? Kenapa tidak? Karena hibernasi, itulah aku. Itulah aku. Aku melebur di dalamnya. Aku tahu, aku mampu menyelesaikan semuanya sendiri. Kau katakan aku sombong? Sok tegar? Hmmm, hibernasi itu lebih baik adanya. Karena jangan paksa aku untuk membagi. Cukup berhibernasi saja. Buat apa sahabat tahu apa gerangan yang terjadi denganku? Ah, belum tentu benar kawan itu adalah sahabat. Lagipula, apa pula itu sahabat? Apa rupanya kriteria seorang teman bisa naik pangkat jadi sahabat? Hei, itu hanya istilah kok. Bukan apa-apa. Karena hidup ini bukan masalah punya sahabat atau tidak, punya pacar atau tidak, punya “sesuatu” atau tidak. Justru, bagaimana menjalaninya jauh lebih penting.

Laiknya beruang, merasa hangat ketika berhibernasi saat musim dingin. Begitu pula yang kurasakan. Musim dingin itu adalah saat dimana aku diterpa dan merasa sakit. Hibernasi adalah penawarnya. Memberikan rasa hangat hingga aku merasa tak sendiri.

Namun sayang, ia perlahan hilang. Ada orang lain yang menggantikan. Kupikir ia paham aku, kupikir aku akan bertahan, ternyata sebaliknya. Cih. Bodohnya aku. I’m feel like a shit.

Hibernasi, rasanya begitu sempurna. Kelihatannya begitu. Tapi lagi-lagi aku salah. Bagaimanapun, aku seorang biasa. Mana bisa aku menahan segalanya sendirian? Bisakah kau?


Friday, August 20, 2010

Dengarkan

Tak perlu posisi mantap untuk memulai tulisan ini. Karena hatiku sudah berdegup terlalu kencang, pikiranku sudah melanglang, bukan memilah kata, tapi mencari cara untuk memuntahkannya dengan jalan yang sopan. Aku tak peduli jika kau tak mengerti. Karena aku hanya ingin kau dengarkan. Aku pun tak tahu, apakah kau seorang pendengar yang hebat. Sepertinya, aku butuh seorang kawan untuk berbicara tentang segalanya. Bersedia atau tidak, aku jelas tak peduli. Toh, kini kita berada pada lingkaran yang sama. Tak percaya? Sudah kubilang sebelumnya, tak perlu kau pertanyakan apapun, cukup dengarkan, dengarkan, dengarkan. Bukankah kau juga begitu? Itulah lingkaran yang sama itu. Kita sama-sama manusia, sama-sama hidup, sama-sama ingin didengarkan. Tapi kini mungkin kau “hidup” , hanya saja tidak denganku teman. Sekarang kau percaya kan?

Aku mati dalam kehidupan. Aku mati dalam segenap keresahan jiwa. Mempertanyakan sesuatu yang tak bisa ku jawab. Kutanyakan pada seorang teman yang lain, dia memberikanku peta. Sayangnya, aku buta arah. Kutanyakan pada bunda, tapi bunda inginnya berbeda. Dan kutanyakan pada Tuhan, tapi Dia hanya berikan tanda. Tuhan, berikan aku formula membaca tanda-Mu. Lalu kini aku bertanya padamu, aku harus bertanya pada siapa lagi? Hanya keresahan yang kutemukan, tanda tanya yang kulihat, kebingungan yang menghampiri. Kau tak perlu jawab tanyaku, cukup keluarkan saja aku dari segala keresahan yang memuakkan ini.

Oh, aku jadi menerawang. Jangan-jangan Tuhan berikan keresahan untuk membuatku terus bertanya hingga kucari, kudapat jawabnya. Tapi mengapa tak kudapat jalan kesana? Harus dengan apa aku pergi? Ini labirin kebingungan, dan aku memaksamu untuk ikut bersamaku. Akankah kita temukan jalan?

Hatiku masih saja berdegup kencang. Memikirkan segalanya benar-benar ingin membuatku muntah. Aku tau kau tak akan jijik. Karena aku akan muntah, meraung, menangis dihadapanmu jika ku bisa. Kini, ku bagi resahku walau kau berontak, berkecamuk dalam hati memintaku untuk menghentikan kegilaan ini. Tidak. Jawabku tegas. Aku tak tahu kau hebat atau tidak, karena yang ku tahu, kau akan dengarkan aku, karena kita semua begitu.

Aku tak berdaya walaupun ada tenaga, aku mati walaupun aku hidup. Tuhan yang punya daya untuk melakukan segalanya, tapi kini ku ingin kau yang hidupkan aku.

Saturday, July 10, 2010

Hanya Menunggu

Helaan nafasku mengandung beban berat. Layaknya berlari ratusan kilometer tanpa jeda. Ratusan hari yang terbentang pun dilalui dengan rasa penat. Seperti berenang di lautan tanpa tahu batas daratan. Lelah, tapi ku tak bisa berhenti. Kalaupun aku bisa, ada ikatan yang teramat kuat yang menahannya. Energi yang ku miliki untuk melepaskan diri perlahan mulai habis. Aku telah capai berkata-kata. Mau otak, mau hati ya sama saja. Kedua bagian tubuh yang menduduki jabatan penting ini juga sudah tak mau toleransi. Otakku sudah menyampaikan seluruh logika dalam berkata-kata, seluruh alasan yang ku punya, segalanya telah dimuntahkan. Begitu pula halnya dengan hati. Hati pun sebenarnya berbicara. Sudah pernah mencoba dengar suara hati? Aku sudah, tapi dia tidak. Tidak sama sekali.

Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Mungkin satu-satunya cara adalah biarkan semuanya mengalir seperti air, biarkan waktu menunjukkan apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan kita. Menunjukkan bagaimana adanya, dan biarkan Tuhan yang memaksamu untuk mengerti bahwa beginilah adanya. Cinta ini sudah kehilangan alasannya untuk berdiri tegak. Sayang ini pun telah lelah bertarung dengan logika, pertengkaran ini seperti lingkaran setan. Tak ada habisnya. Tak ada akhirnya. Rindu ini juga telah pupus seiring dengan memudarnya benteng alasan yang sudah berusaha kubangun untuk dirimu.

Semuanya perlahan kau rubuhkan. Kau coret dinding itu dengan warna-warna gelap nan menyedihkan. Kemudian kau tutupi lagi dengan warna baru, lebih cerah. Namun kau lakukan lagi hal yang sama, berulang-ulang. Hingga akhirnya coretan kelam itu tak mungkin lagi untuk ditutupi bahkan dihapus. Berulang kali kau lakukan itu, berulang kali pun aku mencoba percaya, segalanya masih bisa diperbaiki. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada yang sempurna. Tapi, kau sudah sangat sempurna di mataku. Hanya saja, mengapa hal itu dapat berubah sekejap mata. Seolah ribuan hari yang kulalui bersamamu tak ada arti. Kau tahu, seorang seniman pun tak akan melakukan hal itu pada sepetak kanvas yang perawan.

Tapi sayang, kau congkel lagi rasa percaya yang kusediakan dengan manis untukmu. Tak tanggung-tanggung, kini kau pukul batanya. Kini, bangunan itu pun sudah bolong dibanyak sudut. Sakit juga rasanya. Tapi kau malah bilang, “Aku yang sakit!” ucapmu dengan nafas tertahan. Ah, tau apa kau soal rasa sakit?

Kali ini, perasaanku lah yang berkata-kata. Bukan otak, bukan logika, bukan pula bibir. Tak bisakah kau mendengarnya? Aku hanya minta, sayang, sayang, sayang, tajamkan pendengaranmu, dengarkanlah hati ini berbicara.

Aku sudah berada pada titik puncak. Bangunanku hampir roboh. Alasanku hampir terkikis. Hatiku seperti sebuah kapal tanpa arah. Adakah kau berpikir untuk menyelamatkannya? Mencoba membangun kembali dengan segenap kesungguhan ditambah dengan sejumput pengertian. Itu saja. Atau mungkin, cukup waktu saja yang tunjukkan padamu. Bagaimana akhirnya cerita ini. Walau aku yang memegang urat nadimu, menentukan deru nafasmu, dan menggenggam erat hatimu, tetap kaulah yang pegang kemudi. Kamulah tokoh utama cerita ini.

Tentukan saja endingnya. Cepat atau lambat, toh, orang-orang di sekitar kita akan tahu. Pembaca pun harus tahu. Kini aku hanya akan menunggu. Bagaimana kau mengakhiri cerita ini. Aku akan jadi penunggu setiamu dikala orang-orang sudah tak sudi mendengarkan, atau saat pembaca sudah menutup lembaran cerita ini karena bosan. Jangan-jangan cerita ini tak perlu diakhiri karena bagimu ini hanyalah sebuah surat. Mengapa diakhiri? Surat tetap saja surat. Tak perlu ada plot cerita, tak perlu ada prolog, epilog, bahkan ending. Tapi ada satu hal yang kau lupakan: ada emosi yang terselip di sana. Kali ini aku ragu kau bisa merasakannya. Mendengar hatiku saja kau tidak, bagaimana mungkin merasakan?

Aku sudah lelah berlari. Saatnya untuk berhenti. Aku tak akan meneruskan. Karena aku hanya akan menunggu. Aku sudah penat berenang di laut lepas. Aku akan berhenti sehingga aku tenggelam saja. Kau akan menemukanku jika mendengarkan hatiku, mencairkan arogansimu, meluaskan pandanganmu,dan mempercayaiku utuh adanya. Apa itu terlalu berat? Jika ya, jangan biarkan aku menunggu terlalu lama di sini.

“Gimana?”

“Wah, cuma sampe itu aja ceritanya? Tapi itu cerita bukan sih?”

Gadis itu hanya tersenyum manis. Mencoba menahan senyum lebih manis lagi.

“Ah, kamu, aku heran ya, baru 15 tahun udah sok-sok-an berpuitis ria kayak orang dewasa,” ujar temannya cengar cengir.

“Ya nggak apa-apa lah, biar dikira ngerti masalah cinta-cintaan,” tawanya nakal.

“Huuuu! Nipu kamu!” balas temannya sambil mencubit pipi gadis itu tanda gemas.

“Biarin, weee...,” sambil menjulurkan lidah, “yang penting tugas Bahasa Indonesia ku udah selesai...” suaranya menyiratkan tanda kemenangan.

“Iiiih, itu kan bukan cerita tau!!! Bu Maria kan nyuruhnya bikin cerpen! Yang artinya itu cerita pendek, bukan kayak gitu...!” teman perempuannya ini protes.

“Yeee, nggak gitu juga donk! Kalau yang protes Bu Maria aku baru mau terima..” ujarnya tak mau kalah.

“Kita taruhan aja kalo gitu! Kalau nilai aku bagus dari kamu, traktir aku makan siomay-nya Mang Okeng, minumnya jus alpuket, plus es krim. Berani nggak?” tantangnya.

“Oooo, siapa takut?! Tapi kalau nilai aku yang bagus dari kamu..., beliin aku novel ‘Confeito’ yang aku incer kemaren ya...,”

“Iiiiiih, itu kan nggak adiiiil!!!”

Teng.., Teng.., Teng.., bunyi bel sekolah membuyarkan peperangan mereka. Gadis itu beranjak dari bangku taman sambil berlari meninggalkan temannya dan berseru:

“Pokoknya kita udah sepakat...!!”

Segitiga

09.45 am

Hosh. Hosh. Hosh. Eza mengayuh sepedanya seperti orang kesetanan. Sial, umpatnya dalam hati.Telat. Telat. Telat. Kenapa harus ngedadak gini? Tak peduli, ia harus segera tiba di sana. Kecemasan membuat jantungnya memacu cepat, mengalirkan ketakutan ke seluruh tubuh. Otaknya pun mutlak memikirkan satu nama. Aku percaya masih ada kesempatan, kumohon Tuhan, beri aku sedikit waktu.

Eza terus melawan deru angin yang menantangnya. Keringat yang mengucur dari pelipisnya kini pun melakukan hal yang sama: berpacu dengan gerak kakinya, namun tertahan oleh alis naganya yang meliuk. Sesekali rem sepedanya mendesis pelan ketika berbelok di ujung jalan. Sambil melihat jam yang melingkar di tangan, hatinya berharap ia masih bisa tiba tepat waktu.

Sementara lima ratus meter dari tempat Eza bertarung dengan waktu, seorang perempuan sedang duduk di jejeran bangku tunggu stasiun. Menggerakkan kedua telapak kaki naik turun dengan ritme yang cepat. Ia mencondongkan tubuh ke depan, sementara kedua lengannya bertumpu pada paha. Tak jarang ia mengusap-usap telapak tangan ke celana jinsnya, sambil menyisir pandangan ke segala penjuru. Menunggu tak sabar.

10.13 am

Eza menyandarkan sepedanya di sebuah tiang di lahan parkir stasiun. Setengah berlari, ia melihat seseorang yang dikenalnya. Menuju ke arahnya dengan lesu. Belum sempat ia mengatur nafas, orang itu sudah berbicara.

“Percuma. Barusan aku dari dalem.”

Hosh. Hosh. Hosh. Hosh. Hatiku menciut.

“Yakin kamu Ka?” ucapku setengah tak percaya.

Raka hanya mengangguk pelan. Matanya menyiratkan kejujuran.

Dia sudah pergi.

Eza melepas kacamatanya. Menyapu keringat yang menumpuk di bawah mata dan pelipisnya. Raka hanya bisa menggigit bibir dan menghela nafas. Berdua mereka berpikir dalam kebingungan. Sunyi begitu lama hingga akhirnya Raka bersuara.

“Sebaiknya kita duduk.” Eza seperti sudah tak sanggup untuk berjalan. Bukan karena kelelahan bersepeda. Tapi, pernyataan yang baru saja didengarnya dari Raka seakan menyedot habis semua energinya. Harapannya. Dengan langkah yang dipaksakan, ia hanya mengekor Raka dari belakang. Stasiun cukup ramai hari itu. Beruntung Raka menemukan bangku untuk mereka berdua, tak jauh dari tempat mereka bertemu.

Raka menyodorkan air minum yang dibelinya kepada Eza dan duduk di sebelahnya. Hening. Tanpa menoleh, Eza meraih botol air minum sekenanya dan tak mampu berucap. Pikiran mereka masing-masing melayang. Eza mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.

Tanpa alarm, Eza tersentak bangun pagi ini. Telepon genggamnya menunjukkan pukul 08.40. Terlalu pagi untuk beranjak dari kasur, tapi ia merasa ingin mandi. Dengan mata setengah terpejam, ia menyibakkan gordyn dan segera menuju kamar mandi. Sambil mematut diri di depan cermin, tiba-tiba ia terpikir sesuatu. Sepertinya bersepeda dengan Dina hari ini ide yang bagus. Segera, Eza mengeluarkan mountain bike-nya dari ruang dapur rumah kontrakannya. Dengan santai, ia mulai mengayuh sepeda itu.

09.27 am

Beberapa kali mengetuk pintu kamar Dina, bukan Dina yang ia dapati.

“Cari siapa Mas?” tanya seorang perempuan yang keluar dari kamar sebelah.

“Hmm, Dina ada?”

“Ooh, Mbak Dina udah pergi Mas. Baru aja.”

“Kemana ya?”

“Tadi sih pamitnya mau ke stasiun, berangkat jam 10 katanya,”

Berangkat? Tanyanya dalam hati.

“Dia pergi sendiri aja? Berangkat kemana ya?”

“Kayaknya sih Mas, tadi dijemput taksi. Mbak Dina bawa backpack gede gitu. Wah, kurang tau juga mau kemana,” jelasnya

“Ooh, makasih ya.”

Kening Eza berkerut. Ia mencoba menelepon Dina, tak aktif. Kini, kedua alisnya bertemu. Ia pun segera menghubungi Raka.

“Ka, kamu bisa ke stasiun sekarang? Ya, ke stasiun. Dina lagi di jalan ke sana. Apa? Ya aku nggak tau, coba kamu susul secepatnya. Sekarang Ka.” Telepon diputuskan. Buru-buru meraih sepeda, pikirannya mencoba menyusun berbagai hipotesis mengapa Dina pergi tanpa ada pemberitahuan padanya atau Raka. Jika ia membawa backpack, jelas ia akan pergi untuk waktu yang lama. Tapi kemana? Sebelumnya Dina tak pernah bercerita apa-apa. Apa yang sebenarnya ia dilakukan? Mungkin dia ada keperluan mendesak hingga tak perlu memberitahuku atau Raka. Segala pertanyaan ini begitu memburu, begitu pula dengan waktu. 09.45 am.

Sudah dua botol air minum diteguk habis oleh Eza, tapi tetap saja tak mampu memuaskan rasa hausnya atau mengembalikan energinya. Pun sudah begitu lama ia duduk, tetap tak dapat menghabiskan lelahnya. Hipotesis yang sejak tadi ia rangkai juga tak dapat memberikan petunjuk mengapa Dina, teman baiknya dan Raka, tiba-tiba pergi jauh tanpa memberi kabar. Apakah reaksinya ini berlebihan? Toh, Dina juga punya privasi. Dia tak perlu melapor pada mereka akan melakukan apa atau mau kemana. Tapi, instingnya berkata lain. Ah, lagi-lagi hanya dugaan.

“Nggak tau kenapa, tadi pengen ngajak Dina jalan-jalan pagi pake sepeda. Kalo nggak ke kosannya, aku nggak bakalan tau ternyata dia mau pergi.”

“Aku juga baru tau dari kamu. Mungkin ada keperluan mendesak Za.” Raka mencoba mewakili alasan mengapa Dina pergi tanpa sebab.

“Oke, tapi kenapa handphone-nya mati? Kalaupun memang mendesak, dia kan nggak perlu matiin handphone segala,” bantah Eza.

“Apa dia nggak pengen diganggu? Atau low battery? Karena buru-buru nggak sempet nge-charge,” Raka malah menjawab dengan pertanyaan.

Eza tak mendebat lebih jauh. Ia hanya ingin pulang dan tidur saja. Berharap tidak ada apa-apa dan esok ia bisa melihat senyum manis Dina. Ia bangkit dari duduknya, disusul Raka. Mereka berpisah tanpa banyak kata. Semoga hatiku benar, kalau reaksiku ini berlebihan, batin Eza. Sementara Raka masih berpikir, mencoba mencari alternatif dugaan mengapa Dina pergi.

Dina berhenti menatap ke luar jendela, bergeser ke pinggiran tempat duduk kosong di sebelahnya. Selain menatap pemandangan saat kereta berjalan, ia juga suka melakukan hal ini: melihat gerbong di depannya meliuk-liuk kaku sambil mendengarkan mesin kereta api yang menderu. Merasa puas, ia kembali menekuni pemandangan di luar jendela. Melihat kilasan rumah-rumah penduduk yang tinggal—terlalu—dekat dengan rel kereta atau bentangan sawah nan hijau.

“Naik kereta itu menyenangkan. Coba dengarkan irama mesinnya yang melaju, bunyi remnya yang tajam, atau suara‘klakson’nya yang mengejutkan. Semacam musik yang tak teratur, tapi menarik,” ujarku sok filosofis saat ngobrol di cafe favorit kita pada suatu sore. “Alaaaaah, bilang aja sebenernya dari TK kamu emang suka nyanyiin lagu ‘Naik Kereta Api’ tuuuut.., tuuuut..., tuuuut...,” Raka menimpali dengan bibir monyong saat menyanyikan lagu wajib TK itu. Tanganku langsung mengacak-ngacak rambutmu yang lebat, seperti anak kecil yang tak terima cokelatnya diambil. Lucu jika mengingatnya kembali. Dina menghela nafas. Semoga kalian sudah baca emailku.

01.15 pm

Raka mengunci stang vespanya. Untuk beberapa saat ia masih terpaku mengingat apa yang telah dilaluinya hari ini. Ia merasa seperti tak mengenal Dina, karena teman perempuannya itu tak pernah mendadak melakukan hal yang mengejutkan. Kalaupun ada, pastinya menyenangkan.

“Dina?” Aku tersentak melihatmu berdiri di depan pintu rumah kontrakanku.

“Ya, Raka..., kenapa? Keberatan ya aku ke sini?”

“Ngg..nggak kok,” aku terbata.

“Kamu sih, menghilang aja bisanya. SMS, telepon, email, chat-ku dianggurin. Ada apa sih Ka?”

Aku patah hati.

“Hmmm, nggak kok Din, cuma pengen sendiri aja, lagi males,” jawabku datar.

“Wah, aku ganggu donk dateng tiba-tiba,”

“Nggak Din, nyantei aja,”

“Dari tadi itu ya, jawaban kamu nggak, nggak, aja. Kalo aku dipersilakan masuk gimana? Boleh nggak?”

Mukamu tampak konyol Din. Aku tak bisa menahan senyum. Sepertinya ini senyum pertamaku yang paling ‘lepas’ sejak aku patah hati.

“Ya boleh lah Din.., ayo masuk,”

“Aku hubungin Eza nggak apa-apa ya? Biar rame, abisnya kamu kayak orang sakit,”

“Iya.., iya..,”

Kudengar kamu bercakap-cakap dengan Eza. Mengomandonya untuk datang ke kontrakanku.

“Eh Ka, aku bawain es krim kesukaan kamu nih, stroberi kacang,” ujarmu setengah berteriak saat aku berlalu ke kamar mandi untuk cuci muka. Sesaat aku kembali, kamu terus aja ngomong.

“Heran ya, kamu tuh cowok, sukanya es krim, rasa stroberi lagi. Kayak cewek aja,” tambahmu.

“Yeee, biarin kaliii, aku kan cowok romantis,”

“Huuu, bukan romantis..., adanya juga melankolis...,” Dengan seenaknya kamu mengacak-acak rambutku.

Aku masih duduk di jok vespaku. Tersadar, aku pun tersenyum mengingatnya lagi. Segera kubuyarkan memori itu dan beranjak membuka pintu rumah. Bisa-bisa aku jadi kangen sama kamu Din. Tapi otakku tak mau kompromi. Aku tergoda untuk mengingat caramu berbicara, senyummu, kekonyolanmu, alasan-alasanmu tentang sesuatu yang kadang terdengar sok filosofis. Dina..., Dina...

Tapi sejak kejutanmu yang menyenangkan itu, aku sadar bahwa aku tak seharusnya melarikan diri, membuat dunia semakin sempit, katamu. “Apapun masalah kamu, jangan menutup dirimu sendiri,itu bikin kamu terbelenggu. Lari pun bukan jawabannya, karena itu justru bikin dunia main sempit. Coba buka pandangan kamu, lihat dari sisi yang berbeda. Kamu bisa lakukan itu kalau kamu buka hati dan pikiranmu. Ikhlas Ka, ikhlas,” tuturmu lembut saat itu. Kata-katamu terlalu canggih untuk dimengerti bagiku yang sedang patah hati. Tapi yang aku rasakan semangatku mulai terisi kembali. Kali ini kamu tak seperti biasanya—sok filosofis. Justru yang kudengar adalah ketulusan. Apa adanya.

Kamu juga bilang, kuncinya ada padaku. Tinggal bagiku memilih: menutup diri dan terus lari atau hadapi segalanya. Tepat sepuluh hari kemudian, aku memutuskan untuk berani. Aku menemuinya. Mengatakan kalau aku akan menerima. Aku katakan padanya akan meneruskan hidupku dengan kedewasaan walaupun tanpanya. Aku pun dengan besar hati akan mendoakan kebaikan untuknya. Padahal, kamu tak pernah benar-benar tahu masalahku saat itu. Tapi kamu tahu, masalah sedang berada di ubun-ubunku, dan kamu sangat tahu bagaimana menghadapinya. Kuncinya memang ada padaku Din, tapi kamu yang mengantarkanku untuk menemukannya.

Raka meniup halus seduhan kopi hitam panas sambil menatapi layar komputer. Walau siang ini minum kopi rasanya tak tepat, ia tak peduli. Seperti mengudap es krim saat hujan. Dia tak butuh keterkaitan antara cuaca dan jenis minuman. Lalu kenapa? Itu hanya sebuah konstruksi yang dibangun orang kebanyakan.

Raka berhenti menyeruput kopinya dari bibir cangkir, ia manatap layar komputer lamat-lamat. Tak salah lagi.

“Za? Buka email kamu sekarang!”

Email?”

“Buka. Sekarang.”

Telepon diputus.

Eza dan Raka yang baik,

Aku harus pergi, mungkin beberapa minggu. Tenang, aku baik-baik aja kok. Maafkan, ngedadak gini. J

-Dina-

Eza bersandar lemas di kursi. Cuma ini kabar yang ditinggalkan Dina. Ini malah tak memberikan petunjuk atau membuktikan salah satu hipotesisnya dapat diterima. Justru menimbulkan pertanyaan dan dugaan lain. Teka-teki macam apa ini? Ia lelah bertarung dengan dugaan yang ia bangun sendiri, demi memuaskan hasratnya. Mencari probabilitas yang logis dan tepat mengapa Dina pergi, kemana, dan yang peling penting: kapan ia akan kembali. Atau jangan-jangan tak akan kembali?

Ia menjauh, membiarkan emailnya begitu saja.

“Hoi Za!”

Aku tersentak.

“Ngelamun aja. Pinjem pensil dong,”

Tanpa banyak tanya aku menurut.

“Duh Eza, aku tu pinjem pensil, bukannya stabilo,” Kamu protes.

“Duh Dina, apa bedanya sih stabilo sama pensil? Mau kamu pake buat nandain itu buku kan?” Aku balas menirukan nada bicaramu.

“Gini ya Za,” Aduh..., aduh..., mulai lagi nih ceramah filosofisnya. Aku salah tanya. “...fungsinya emang sama, tapi sensasi saat makenya beda. Hmmm, kalo make pensil, rasanya seperti aku bisa menggambar. Aku nggak ngerasain itu waktu make stabilo. Ini buku emang udah penuh aksara, tapi Za, garis lurus dari mata pensil aja punya makna penting,” jelasmu panjang lebar.

“O.., seperti tatapan mata kamu sekarang,” tambahmu tiba-tiba.

“Apa?” Aku merasa tuli sehingga harus menanyakan apa yang baru saja kamu katakan. Kamu menutup buku yang sejak tadi kamu bolak-balik halamannya.

“ Iya.., dari tadi kamu itu natap aku, lurus dan serius,”

Oh No. You Got me.

“Kamu ngelamun lagi atau ngedengerin aku?”

Tidak ada penjelasan. Lebih baik pasang tampang aneh sambil senyum.

Keningmu berkerut sambil geleng kepala.

“Huuuh, kamu mulai absurd Za.”

Ini rokok kedua yang kuhisap. Resah membaca emailmu. Abu rokok menyentuh kulit kakiku. Aku melamun Din, mikirin kamu. Merindumu. Belum genap sehari kamu tiba-tiba pergi, sekarang aku sudah kangen kamu Din.

Kamu bilang aku seperti anak SD, bisa-bisanya pensil diruncing ujung pangkalnya. Aku tak bisa mendebatmu. Gelak tawamu sudah cukup untuk membuatku bungkam. Puas “menggambari” bukumu, aku masih ingat caramu menikmati sepotong cheese almond cake di cafe yang sering kita kunjungi. Kamu mencuil irisan tipis kacang almond di atas krim menteganya dengan garpu. Ketika almond itu menyentuh lidahmu, kamu mulai bergaya menirukan Bondan Winarno mengomentari makanan. Bedanya, tak ada kamera di depanmu. Hanya ada aku. Mataku yang tak lepas menikmati gayamu itu. Seperti seorang fans menatap artis idolanya tak jemu. “Irisan almond-nya terasa fresh. Bercampur dengan krim mentega dan paduan gula yang pas di lidah,” katamu sok tau.

“Begitu lembut,” tuturmu ketika memotong kue favoritmu itu. Rasa kejunya yang tajam dan unik membuat rasa cintamu bertambah pada keju. Itu yang kau katakan. Pikiranku seketika melayang. Betapa beruntungnya keju itu, dicintai perempuan seperti dirimu. Kamu menikmati setiap kunyahan potongan kue itu di mulutmu. Merasakan dengan cermat taste-nya yang bergelayut di lidahmu. Jika setiap cafe memiliki pelanggan sepertimu maka mereka pasti akan berlomba menciptakan kreasi yang terbaik. Bukan karena komentar-komentar sok taumu tentang menu mereka. Tapi karena kesenangan yang kau munculkan saat menikmati sajian mereka. Penghargaan atas apa yang mereka buat. Selalu punya alasan di balik sesuatu. Itulah kamu Din. Tapi aku tak menemukannya kali ini.

Titit.titit.

Apa yang akan kita lakukan? Aku khawatir dengan Dina. Kita harus coba mencarinya Za,

Eza terpaku sejenak setelah membaca pesan singkat Raka. Mencari Dina terlebih dahulu mungkin ada baiknya juga. Dengan cepat jarinya menjelajahi tombol handphone, membalas pesan Raka.

06.45 pm

Pencarian Dina dimulai. Eza dan Raka kembali ke titik awal. Perempuan yang tinggal di kamar sebelah Dina diinterogasi sedetail mungkin. Mereka seperti detektif mencari buronan kelas kakap. Dina memang punya banyak teman, tapi ia tak punya saudara di kota ini. Selama setahun berteman, mereka hanya tau kalau Dina punya seorang kakak laki-laki. Ia hanya pernah cerita kalau sudah lama abangnya tak menghubunginya, persaudaraan mereka memang tak terlalu dekat. Sementara keluarganya tinggal di kampung halaman. Mencari peruntungan menjadi alasan mengapa ia ada di kota ini.

Tak begitu banyak hasil. Perempuan kamar sebelah itu hanya tahu kalau malam sebelum berangkat Dina memang mengatakan akan pergi dulu, “Mungkin lama,” begitu katanya. Dina menolak mengatakan tujuan keberangkatannya, malah mengalihkan jawaban. “Ya.., ngedadak ada perlu nih.”

Raka nekat mengajukan ide untuk menyusul Dina ke kampungnya.

“Kita nggak tau apa-apa Ka,”

“Tapi kita kan bisa tanya-tanya Za. Transportasi dan semacamnya,”

“Kereta api!” Eza tiba-tiba berseru.

“Iya Za! Tapi.., apa benar tujuan Dina pulang ke kampungnya itu? Setahuku, ke kampung Dina harus nyebrang pake feri Za, dan seharusnya dia naik bus,” tandas Raka.

Mereka tak henti mencari kemungkinan yang ada. Percakapan mereka berlanjut dengan analisa-analisa tentang sikap Dina beberapa hari terakhir sebelum dia berangkat. Sampai lelah mengingat dan berdebat, Raka sembarang memencet-mencet tombol handphone-nya, kendati telah dikunci. Berulang kali, layar handphone-nya itu bercahaya dan seketika mati. Sementara Eza meraih rokok dari atas meja.

10.55 pm

“Sudah setahun kita kenal Dina, tapi, rasanya kita masih tak banyak tahu tentang dia.” Eza membuka pembicaraan setelah lama hening.

“Ya..., mungkin kita seharusnya tenang. Seperti yang ia katakan dalam email. Mungkin dia memang ada keperluan yang mendesak.” Raka meneguk cafe latte-nya yang sudah dingin. Black coffee tak jadi pilihannya kali ini karena ia merindukan Dina.

“Mungkin Ka, mungkin..” Eza hanya mengangguk perlahan. Hening menyelimuti mereka lagi. Suasana cafe favorit mereka yang cukup sepi malam ini seolah mendukung absennya Dina. Tak ada obrolan konyol, atau alasan-alasan ‘maksa’-nya Dina yang meramaikan malam itu.

11.23 pm

“Apa diskusinya nggak kita lanjutin besok pagi saja?”

“Nggak usah, sekarang aja. Lagian aku tadi udah istirahat kan,” Dina memaksa untuk dituruti. “Jadi, rute kita kemana?” tambahnya excited.

“Sampe Bali gimana?” usul suara berat di depannya. Dina malah membuka peta dan menunjuk satu pulau lagi.

“Hmmm, nanggung. Udah, kita bablasin sampe Lombok aja,” ujarnya mantap.

Budgetmu cukup nggak?” Kini lengan besarnya menopang dagu.

“Oo, justru itu pertanyaan buatmu. Aku sudah banyak menabung beberapa bulan ini,” Dina tak mau diremehkan.

“Oke, kita berangkat lusa,”

“Setuju. Besok jalan-jalan dulu ya, aku kangen bakpia,”

Dina membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja, menutup peta, menumpuk travel books ke sisi kiri meja. Kursi berderit saat suara berat itu berkata tiba-tiba.

“Din,”

“Hmm?” Dina menaikkan alisnya.

“Maaf mengacuhkanmu terlalu lama.” Mereka saling tatap. Dina mengulum bibir mungilnya. Sunyi cukup lama hingga Dina mencoba menyunggingkan senyum.

“Sudahlah..” Ia merasa canggung. Kali ini ia tak punya kata-kata yang tepat untuk sekadar mengatakan ‘tidak apa-apa’ atau memang seharusnya ia mengatakan hal itu saja. Lelaki itu mengangguk kecil.

“Kamu sehat-sehat saja kan?” Pertanyaan yang biasanya muncul diawal pertemuan ini malah baru terucap setelah diskusi panjang dari rencana perjalanan mereka.

“Aku sehat dan baik. Hanya saja, semoga ini awal yang bagus.” Senyum mengakhiri ucapan Dina dan ia berbalik menuju kamar.

Dina duduk di bibir kasur. Memandangi handphone-nya yang tak menyala sejak keberangkatannya tadi pagi. Ia meraihnya, menggosok-gosok layarnya begitu lama. Ada ragu untuk menghidupkan ponselnya itu. Takut Eza atau Raka mendadak menghubunginya. Sebenarnya ia hanya ingin membaca lagi pesan singkat yang dikirim Handi minggu lalu padanya. Tapi, rasanya itu tak perlu. Pesan itu tak sulit untuk diingat.

Let’s rock our plan travel!

Tak perlu baginya menanyakan kabar. Ia hanya tahu kalau aku masih memimpikan untuk menjejakkan kakiku ke Legian, pantai Kuta, atau berbelanja di Pasar Sukawati. Bahkan kini aku malah menambah daftar perjalanan kami: Lombok. Aku tentu harus membiasakan diri dengan segala kecanggungan yang mungkin akan sering terjadi. Tapi, dia itu kakakku, jadi kenapa harus canggung? Mungkin karena sudah lama tak bertemu, atau karena sudah terlalu lama dia tak menanyakan kabarku.

Sejak pesannya itu, aku pun memutuskan untuk ikut dengannya. Ya..., lagian aku harus menjauh dulu dari mereka—Eza dan Raka. Guys, aku bukan perempuan bodoh yang tak bisa membaca gestur kalian. Aku tahu, ini bukan sekadar gede rasa. Aku tak perlu memastikan apa yang tersirat dari air muka kalian saat menatapku. Begitupun dengan sikap yang kalian bangun, perhatian yang kalian beri. Bagaimana kalian tiba-tiba tengah malam buta tiba-tiba menghubungiku,

“Din, lagi ngapain?” atau,

“Din, ganggu nggak?” atau begini,

“Din, besok beli buku yuk?”

HELLOOOO..., guys, kalian itu teman baikku, yang biasanya tanpa ba bi bu langsung mengatakan apa yang ingin kalian obrolkan. Berbagi denganku tanpa perlu bertanya, ganggu nggak?

Kalaupun analisisku belum juga cukup kokoh maka kuajukan situasi berikut ini: bagaimana mungkin selama empat belas hari berturut-turut, kamu Za, mendadak jadi breakfast deliver? Mengetuk pintu kamarku jam 7 pagi, mengantarkan bubur ayam, nasi kuning, lontong kari, nasi goreng..., mengajakku olahraga pagi padahal kamu tau aku tidak suka karena aku lebih memilih untuk tidur. Tapi kamu malah bertahan dengan alasan, “Hidup sehat dong Din, teratur, lagi sibuk kan? Entar kamu sakit kan nggak lucu,” begitu katamu.

Raka..., kamu juga sama. Mendadak kamu jadi paling tahu aku yang sangat suka makan. Hal ini jelas tidak lagi sekadar kebutuhan primer bagiku, tapi sudah menjadi hobi. Tak terhitung berapa banyak camilan yang kamu bawa untukku: pisang bakar keju cokelat susu, roti bakar keju susu, surabi keju cokelat, martabak keju susu kismis..., ketika kutanya ada apa, alibimu:

“Nggak Din, kebetulan aku lewat tempat surabi yang sering kita beli, jadi sekalian aja beliin buat kamu,” dan...

“Katanya kemaren kamu lagi pengen martabak, jadi aku beliin...” dan begini...

“Kamu kan lagi sibuk, harus banyak makan Din, entar sakit kan nggak lucu...”

Tak peduli hujan, gerimis, panas terik, setiap sore kamu selalu datang dan membawa makanan favoritku. Ada apa gerangan?

Apa aku harus mencari alasan lain untuk sebuah pembuktian? Dina mendaratkan tubuhnya di kasur. Sudah larut. Lebih baik mengarungi dunia mimpi dimana semua masalah terlupakan sejenak. Barangkali ada pencerahan di sana.

07.30 am

Raka terpaku melihat deretan sent items yang ia kirimkan ke alamat email Dina. Sementara kotak masuknya tak menunjukkan tanda-tanda balasan dari Dina. Ia nelangsa. Pesan singkat yang ia layangkan sejak tadi malam pun melaporkan hal yang tak jauh berbeda. Pending. Pending. Pending. Offline chat-nya juga sama saja. Semuanya nihil. Dina bagai ditelan bumi.

Matanya merah menyiratkan kelelahan. Bukan hanya lelah mencari kabar Dina, tetapi juga lelah karena tak tidur semalam. Raka bukan lelaki yang terbiasa begadang. Kalaupun terpaksa, ia harus minum suplemen, bukannya kopi. Kepalanya perlahan semakin menunduk di depan layar komputer, hingga lengannya tak mampu lagi untuk menopang wajahnya, ia tertidur.

08.05 am

Detik jam dinding berdetak pelan. Waktu terasa lambat berjalan bagi Eza. Ia hanya mematung melihat jam dinding. Seakan perlu baginya, untuk menghitung berapa kali detik jarum jam itu berputar sehingga satu menit bisa berlalu tanpa kegelisahan. Ia sudah habis akal. Email, SMS, telepon, chat. Tak ada kemajuan. Ada yang lebih laik yang bisa dilakukan selain menunggu? Ia mematikan rokoknya. Tanpa ada perintah, tubuh Eza langsung rebah di atas kasur. Mungkin tidur lebih baik. Ketika bangun, berharap Dina nanti berdiri di depan pintu rumahnya, mengatakan bahwa ini hanya bualan semata.

03.25 pm

Titit. Titit.

Dengan bunyi dan getar ponselnya di atas meja, Raka tersentak dari tidurnya. Lehernya terasa kaku karena tidur dengan posisi yang tak sempurna, hanya berbantal lengan. Raka meraih ponsel dan membuka pesan. Shit. Ternyata dari temen kantor. Laporan? Ini kan hari libur, sesalnya. Merasa suntuk, sepertinya ia harus keluar rumah.

Satu jam kemudian ia sudah berada di cafe favorit mereka bertiga. Ia tak perlu lama untuk bersiap. Tak perlu mandi, ganti baju, atau menyisir rambut. Karena yang ia perlukan saat ini hanyalah Dina. Berada di depannya, sambil meneguk secangkir cafe latte panas. Mendengar gumamannya saat menerawang, berpikir mencari kata yang pas untuk mengekspresikan perasaannya. Saat melihat ke sisi jalan, otaknya me-recall memori ketika Dina menunggunya di depan cafe.

Aku tahu aku terlambat. Tapi, memperhatikanmu dari kejauhan adalah momen langka. Karena aku tak perlu tertangkap mata ketika sedang menatapmu. Tak ada salahnya bagiku untuk menikmatinya sejenak. Aku memandangimu yang sedang berdiri di depan cafe. Mengusap-usap telapak tangan berulang kali ke celana jinsmu sambil sesekali melirik waktu di jam tangan. Bola matamu tak berhenti menyisir segala penjuru, berharap penantian ini segera berakhir. Itu kebiasaanmu ketika gelisah, dan setidaknya aku bisa puas tersenyum. Tak perlu khawatir terlihat olehmu. Tapi, yang paling membuatku iri adalah saat kamu memegang erat sebuah buku di tangan kananmu. Aku tak perlu tahu buku apa itu gerangan sehingga harus kau bawa dan memegangnya erat. Karena yang ada di pikiranku adalah tak ternilai rasanya jika akulah yang kamu genggam erat Din. Setidaknya seperti lirik The Beatles, now let me hold your hand.., I wanna hold your hand...

“Maaf Din, telat,” sapaku dengan nafas tak teratur. Rasanya ini bukan karena tadi aku setengah berlari, tapi karena aku sudah di dekat kamu.

“Hmmm, ada sapaan yang lebih bagus daripada ‘maaf’ nggak?” jawabmu cuek.

Tanpa ragu, aku langsung menyodorkan sebatang Silverqueen ukuran besar dengan isi kacang almond. Kesukaanmu. Kamu melirik, kedua sudut bibir tipismu sedikit terangkat.

“Tapi kan seret kalo makan cokelat nggak ada minum,” ujarmu berkilah.

Sekarang, kesukaanmu yang kedua. Nescafe Cafe Latte. Ya kan?

“Oke, permintaan maaf diterima. Saatnya makan!”

Kali ini senyummu benar-benar merekah. Hanya kesejukan yang kurasakan di tengah cuaca panas saat ini. Seperti salju yang turun di tengah gurun. Seperti Snow in Sahara, begitu kata Anggun C. Sasmi. Namun bagiku, jika salju memang tak mungkin adanya, hujan pun tak apa Din..

Tik. Tik. Tik. Tik. Tik.

Hujan??

Kenapa jadi hujan gini? Apa alam juga ikut-ikutan mengingatkanku pada Dina?

Tapi, cuacanya memang mendung..

***

Hampir dua bulan lebih berlalu. Eza dan Raka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Sebenarnya memaksakan diri untuk sibuk. Mereka tak mungkin menyibukkan pikiran dan perasaan mereka dengan satu subjek saja: Dina. Ada kehidupan yang harus mereka jalani. Walaupun tak dapat dipungkiri mereka sangat rajin mengecek email, online dengan harapan nama ‘dina_theonlyareason’ menyala, tak berhenti mengirim pesan, bahkan pantang menyerah untuk terus mencoba menelpon. Jika ada lembur, mereka mendadak jadi garda depan untuk melaksanakan tugas hingga larut. Hal ini sungguh diluar kebiasaan. Raka berubah menjadi kalong: malam begadang, subuh ia manfaatkan untuk tidur sejenak. Pulang dari kantor akan ia teruskan dengan tidur panjang. Kemudian terjaga ditengah malam dan meneruskan pekerjaannya.

Eza malah sering ke luar kota. Proyek yang tengah ia kerjakan membantu untuk menyita waktunya. Baginya ini lebih menyenangkan, daripada berkutat pada pertanyaan: kapan Dina akan kembali? Pertanyaan yang tak mungkin dijawab olehnya. Seperti menebak-nebak ke mana sehelai bulu angsa akan jatuh. Ia tak akan pernah tahu. Beginilah hidup. Penuh teka-teki, pun penuh kejutan.

Sending message...

Eza, Raka,

Sore ini, jam 4 aku tunggu di cafe biasa ya, :D

-Dina-

Di tengah meeting, Raka tergoda untuk membuka pesan singkat yang bergetar di ponselnya. Tak biasa. Kemampuannya untuk mengacuhkan hal-hal remeh seperti ini sudah tak diragukan. Tapi entah kenapa kali ini ada dorongan kuat untuk..., “Permisi Pak, saya harus keluar sebentar, ada panggilan penting,”

Si bapak tua pemimpin rapat mengangguk kecil. Sepertinya tak perlu protes mengingat kinerja Raka yang habis-habisan pada proyek yang lalu. Sesekali untuk bergerak diluar kebiasaan tak menjadi masalah.

1 message recieved. Opening message.

Shit. Shit. Shit.

Jauh dari tempat Raka berdiri, Eza sedang duduk di samping supir untuk perjalanan dinasnya ke luar kota. Seketika ponselnya berbunyi.

Opening message...

Shit. Shit. Shit.

“Mas, kita balik lagi ke kantor,” Eza mendadak gusar.

“Lha Pak, bukannya..,”

“Sekarang! Putar balik!”

03.28 pm

Dina tengah berkutat dengan bukunya. Mengetuk-ngetukkan pensil ke meja, memainkannya dengan jari telunjuk dan jempol. Secangkir cafe latte panas mengepulkan asap halus ke udara. Semilir angin membalik halaman buku yang sedang dibacanya dengan paksa. Rambut pendeknya yang ikal dengan mudahnya diterbangkan angin. Ia pun menyelipkan rambutnya itu di belakang telinga.

Jam digital pada dashboard mobil menunjukkan pukul 04.20 pm

“Apa kita harus protes padanya?”

“Kita protes pun nggak akan ngaruh Ka,” Rasanya tak pernah Eza memperhatikan jalan secermat kali ini. Air mukanya menyiratkan antusias.

“Maksudmu?” Raka menginjak rem. Ini karena lampu merah memaksa berhenti.

“Kamu tahu kan, Dina itu paling bisa menenangkan. Segusar apapun kita, seprotes apapun kita, bahkan semarah apapun kita, dia sangat ahli untuk membuat kita bungkam dan mendengarkannya. Kamu ngerasain itu kan Ka?” Eza berbicara tanpa jeda.

“Ya Za, kamu bener,” Raka terpaku.

“Kita lihat saja Ka,”

04.40 pm

Lagi-lagi hening. Seakan hanya ada mereka bertiga walau cafe itu jelas ramai. Eza hanya mematung melihat cangkir cafe latte yang sudah kosong. Sementara Raka menatap sisi jalan yang padat. Dina tahu hal ini akan terjadi, dan ia tahu ia bisa menghadapi kekakuan dua orang teman baiknya ini. Ada protes yang meletup-letup dan segenap kemarahan yang akan meledak seperti bom waktu, tersirat dari wajah mereka berdua. Juga dari sikap yang mereka munculkan.

Walaupun terdengar basi, ia tetap mencoba untuk bertanya.

“Apa kabar Za? Ka?” Dina tersenyum tipis.

“Kamu kemana?” Eza malah balik bertanya.

“Kenapa baru balik sekarang?” Raka tak dapat menyembunyikan nada protesnya.

Dina hanya bisa diam untuk sementara, menatap kedua temannya itu seksama. Karena obrolan itu ternyata berlanjut pada protes-protes yang dengan sendirinya keluar dari hati mereka. Mereka seperti anak kecil saja, seperti merengek minta diberi alasan mengapa tak boleh makan cokelat jika sakit gigi. Namun, ia tahu ia harus bisa menerima sikap teman-temannya ini. Dina pikir, ini akan memakan waktu yang lama. Tapi ternyata lebih singkat daripada yang ia duga. Dalam benak Eza dan Raka, rasa marah, gusar, dan protes mereka memang tak bisa bertahan lama. Karena tatapan lembut Dina menghentikan segalanya.

“Aku minta maaf. Beberapa hari sebelum pergi, kakakku menghubungi. Ia kembali lagi. Kalian tahu ini kesempatan bagiku. Karenanya, aku harus pergi. Tak ada waktu untuk menjelaskan pada kalian berdua. Lagipula, aku merasa kalau kita bertiga juga perlu untuk menikmati waktu masing-masing.” Dina menjelaskan begitu tenang. Tak ada kesan buru-buru dari cara bicaranya.

Perlahan, semuanya mencair. Eza dan Raka luluh dengan penjelasan Dina. Mereka tak berhak protes. Toh, selama setahun berteman baik Dina sudah terlalu sering menjalani waktunya bersama mereka. Tak banyak protes seperti yang mereka lakukan barusan. Walaupun sering, Dina pun sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sampai-sampai akumulasi waktu yang mereka jalani bersama telah membuat Eza dan Raka merasakan hal yang berbeda pada Dina. Rindu yang tak lagi sama.

“Aku akan pindah,” ujar Dina tiba-tiba. Belum sempat mereka komentar, Dina sudah melanjutkan.

“Aku dan kakakku sedang merencanakan sesuatu. Ia yang mengusulkannya padaku,” tambah Dina kalem.

“Rencana apa Din?” Raka bersuara.

“Hmmm, aku masih belum bisa cerita. Ini penting buat kami berdua. Nanti kalau sudah pasti, aku juga akan kabari kalian,”

Mereka berdua tak tahu sebaiknya bertanya apa, agar Dina membuka peluang bagi mereka untuk mengetahui.

“Bagaimana pekerjaan kalian?” Dina mengalihkan pembicaraan sambil tersenyum cerah. Tak ada dari mereka berdua yang dapat menolak untuk bercerita. Obrolan panjang dimulai.

08.15 am

“Bagaimana? Kamu yakin untuk pindah Din?”

“Tentu Kak. Cafe dan Resto itu juga impianku.”

“Baiklah. Kita berangkat sekarang?”

“Hmmm, sebentar kak, aku harus kirim email dulu,”

“Oke, aku angkat barang-barangmu ke mobil ya,”

Dina termenung. Aku tidak melarikan diri dari kalian. Mana mungkin aku bisa memilih. Kalian berdua temanku. Justru inilah yang menurutku paling baik, aku memilih untuk merekatkan kembali hubungan dengan kakakku. Kepindahan ini setidaknya dapat membuat kita bertiga tetap berteman, bukan berubah ke arah yang lain, atau malah terpecah. Seperti sinetron saja.

Compose. No subject.

09.00 am

Raka masih terjaga. Membereskan data-data komputernya. Tak tahu mengapa, ia malah tak ingin tidur. Entah karena sudah terbiasa begadang atau karena terlalu gembira semalam bertemu kembali dengan Dina. Tiba-tiba Raka berhenti mengklik folder pada monitor komputernya. Pikirannya melayang, ia tak mau kehilangan kesempatan lagi, secepatnya ia akan katakan pada Dina bahwa rindu yang ia rasakan tak lagi sama. Tak laiknya seorang teman. Kini, Raka tergoda untuk online. Berharap ‘dina_theonlyareason’ menyala dalam chat-nya.

Sign in. You have one new message.

Sementara Eza merasa harus mandi walaupun ia belum tidur semalaman. Mungkin karena pengaruh hatinya yang segar karena Dina telah kembali. Akhirnya, setelah sekian lama, pertanyaan kapan Dina kembali terjawab sudah. Tapi kulitnya tampak sedikit lebih cokelat. Justru itu bukanlah apa-apa, karena perasaannya—yang jika tak segera dikatakan—akan menjadi masalah. Sejenak perhatiannya tertuju pada komputer yang ia biarkan menyala sejak ia mandi. Ternyata satu email baru telah masuk di inbox-nya.

From : Dina Kusumanjayani

To : Eza Ramdan Wijaya , Raka Riansyah

Subject: no subejct

Za, Ka,

Aku pamit ya, aku harus berangkat sekarang. Always keep in touch with me, okey? Maafkan, jangan marah dan protes dulu. Kalau proyekku ini berhasil, aku akan undang kalian waktu soft opening-nya (doain ya), but remember, bring on your partner! :D

-Dina-